Desember 28, 2012

"Tiga Persiapan Penting Mencapai Cita-cita Dakwah" | Taujih Ust Cholid Mahmud

Jumat, 28 Desember 2012






Ir. H. Cholid Mahmud
Ketua Umum Jama'ah Shalahuddin UGM (1989-1990)
Anggota DPD RI dari DI Yogyakarta (2009-2014)



Taujih ustadz Cholid Mahmud ini kami kutip dari kultwit Ridwan Oktovan @tovan_hnd

  1. Saya share taujih ust Cholid Mahmud kpd ADK bbrpa waktu yg lalu. Smg manfaat Hastag kultwitny #TaujihUCM.

  2. Qta sbg kader dakwah punya narasi dan cita2 besar terkait ke-ummat-an. Bagian dari perintah Allah swt.

  3. Dalam rangka mencapai narasi besar maka dibutuhkan i'dad atau persiapan.

  4. I'dad pertama adalah Kredibilitas Personal, ini terangkum dlm 10 muwashofat. Tweeps fillah masih ingatkan 10 muwashofat?

  5. ADK seharusny memanfaatkn sebaik2nya waktu di kampus utk memenuhi 10 muwashofat ini, shg jadilah ia kader dakwah yg punya krediblitas personal. 

  6. I'dad kedua adlh Kapasitas Berorganisasi, hal ini dimatangkan ketika kuliah (di kampus). Belajarlah berorganisasi yg baik.

  7. Kapasitas berorganisasi dlm dakwah qta prinsip & ruhny ada dlm arkanul baiat Imam Hasan Al-Banna. Dari al-fahmu sampai tsiqoh.

  8. Belajarlah memimpin, belajarlah melayani publik, belajarlah mengorganisir, belajarlah mengelola urusan2 org lain selama mjd Aktivis di Kampus.

  9. Persiapan ketiga adalah Kredibilitas Profesional, point ke 3 ini merupakan tantangan pasca kampus.

  10. Kompetensi ilmu perkuliahan yg didapatkan saat kuliah kan mnjadi penunjang kredibiltas profesional.

  11. Munculny kredibilits profesi adalah sebuah jawaban dari problem ummat. Jika sudah kredibel, maka amanah2 ummat itu kan dipercayakan kpd kader dakwh.

  12. Nah, 3 point ini belumlah dimiliki para pengurus negara qta tercinta. Contohnya bbrpa menteri blum lah sesuai dg kompetensi ilmunya.

  13. Blum lagi jika qta liat kredibilitas personal sebagian org2 publik yg masih jauh dari baik.

  14. Lalu, dimana qta bisa ambil contoh? Seksamai bgmn pemimpin negara mesir saat ini. Mohammad Mursi.

  15. Pada awalnya parpol pengusungnya bukanlah mengusulkan Mursi sbg capres, namun krn calon awalnya ada "masalah" dgn status hukumnya..

  16. ..maka saat injury time dimintalah Mursi menjadi capres, nah, bliau gak ada masalah krn 3 i'dad tadi sudah dilakukannya dgn baik.

  17. Mursi adalah kader dakwah yg mulai dari masa mudanya menempa diri dgn 3 persiapan tadi. Wajib qta contoh.

  18. Persiapan ini tidak hanya terkait dgn jabatan publik, tapi lebih pada PERAN PUBLIK yg dilakukan kader dakwah. Jabatan publik hanya bagian kecil dari peran publik yg ada.

  19. Kader dakwah adalah arus utama menyelesaikan problem ummat. Jadilah yg terbaik dlm peran2 publik/ keummatn.

  20. Demikian tuips yg bisa sy share, smg manfaat dan bersiap siagalah.

Tahun (Baru) Masehi: Mitos Musyrik Romawi yang Diadopsi Gereja, Mengapa Umat Islam Merayakannya?

SALAM-ONLINE: Tahun masehi mendasarkan perhitungannya pada peredaran matahari. Sementara Tahun Hijriyah mendasarkan perhitungannya pada peredaran bulan.

Jadi, sangat logis jika tahun hijriyah menyebut Muharram, Safar, Rabiul Awwal, dan seterusnya dengan nama BULAN.
Tetapi, adalah janggal, jika nama-nama Januari, Februari, Maret, dan seterusnya disebut sebagai nama-nama BULAN, sebab perhitungannya berdasarkan peredaran MATAHARI.
Jadi, yang logis, Januari, Februari, Maret, dan seterusnya disebut sebagai MATAHARI Januari, MATAHARI Februari, MATAHARI MARET, dan seterusnya. Mungkin terasa tidak enak ya menyebut Januari dan seterusnya sebagai MATAHARI, bukan BULAN?
Ketidaklogisan lainnya, misalnya, saat pergantian tahun, mengawali 1 Januari, tepat pada tengah malam jam 00.
Mestinya, perhitungan Masehi dimulai di siang hari saat sang mentari beredar, sebagaimana tahun hijriyah mengawali perhitungannya ketika bulan mulai mengorbit. Sebut misalnya, saat umat Islam menetapkan awal dan akhir Ramadhan dengan melihat bulan atau mendasarkan perhitungannya pada bulan.
Begitulah. Nanti kita akan temukan lagi ketidaklogisan nama-nama MATAHARI ini, semisal September yang berarti TUJUH, tetapi ditempatkan pada posisi ke-9.
JANUARI. Mengapa tahun Masehi diawali Januari? Semula Januari bukan yang pertama, melainkan Maret.
Tapi ketika gereja mengadopsi kalendernya Romawi Kuno, Maret berubah menjadi Januari. Alasannya, untuk yang pertama harus baik. Sementara Maret identik dengan peperangan.
Januari Dalam mitologi musyrik Romawi Kuno, dikenal sebagai dewa berwajah dua. Satu menghadap ke depan dan satunya ke belakang.
Untuk menentukan mana yang depan atau belakang, ditandai dengan wajah yang menghadap depan selalu tersenyum dan optimis, sedangkan yang menghadap ke belakang selalu terlihat muram dan sedih.
Dewa itu bernama Janus, yang bisa pula berarti pintu, gerbang, gapura atau lorong masuk.
Itulah mengapa untuk yang pertama setiap tahun dinamakan dengan JANUARI. Januarius Mensis (Latin, Januari) bisa dikatakan berwajah dua. Wajah yang satu menghadap ke tahun sebelumnya dan lainnya ke tahun berjalan.
Dewa Janus dikatakan bermuka dua, namun, menurut kepercayaan Romawi kuno, bermuka dua dalam konteks waktu.
FEBRUARI. Merupakan periode kedua dalam tahun Masehi. Berasal dari nama dewa Februus, Dewa Penyucian.
MARET. Merupakan periode ketiga dalam tahun Masehi. Berasal dari nama Dewa Mars, Dewa Perang.
Pada mulanya, Maret menempati posisi pertama dalam kalender Romawi, lalu pada tahun 45 SM Julius Caesar menambahkan Januari dan Februari di depannya sehingga Maret “dikudeta” oleh gereja menjadi yang ketiga.
Alasannya untuk memulai yang pertama, harus penuh optimisme menatap ke depan. Sementara Maret identik dengan peperangan, sebab Maret yang dari kata Dewa Mars adalah Dewa Perang. Jadi, gereja juga meyakini akan keyakinan musyrik Romawi kuno itu.
APRIL. Merupakan “Matahari” keempat dalam tahun Masehi. Berasal dari nama Dewi Aprilis, atau dalam bahasa Latin disebut juga Aperire yang berarti ”membuka”.
Diduga kuat sebutan ini berkaitan dengan musim bunga dimana kelopak bunga mulai membuka. Juga diyakini sebagai nama lain dari Dewi Aphrodite atau Apru, Dewi Cinta orang Romawi.
MEI. Merupakan “Matahari” yang kelima dalam kalender Masehi. Berasal dari nama Dewi Kesuburan Bangsa Romawi, Dewi Maia.
JUNI. Merupakan “Matahari” yang keenam dari tahun Masehi. Berasal dari nama Dewi Juno.
JULI. Jadi urutan ketujuh dari tahun Masehi. Di periode “Matahari” ini Julius Caesar lahir, sebab itu dinamakan Juli.
Sebelumnya Juli disebut sebagai Quintilis, yang berarti kelima dalam bahasa Latin. Hal ini lantaran kalender Romawi pada awalnya menempatkan Maret pada urutan pertama.
Pergeseran dari Maret yang semula di urutan pertama menjadi ketiga, berdampak pada urutan berikutnya.
AGUSTUS. Merupakan urutan kedelapan dalam kalender Masehi. Seperti juga nama Juli yang berasal dari nama Julius Caesar, maka Agustus berasal dari nama kaisar Romawi, yaitu Agustus.
Pada awalnya, ketika Maret masih menjadi yang pertama, Agustus menjadi yang keenam dengan sebutan Sextilis.
SEPTEMBER. Merupakan “Matahari” kesembilan dari tahun Masehi. Nama ini berasal dari bahasa Latin Septem, yang berarti tujuh. Tapi janggalnya, sampai sekarang September di urutan kesembilan, padahal artinya “tujuh”.
Sejarahnya, September bertahan di posisi ketujuh dalam kalender Romawi sampai dengan tahun 153 SM.
OKTOBER. Merupakan “Matahari” kesepuluh dari tahun Masehi. Nama ini berasal dari bahasa Latin Octo, yang berarti delapan.
Lucu memang, meski artinya “delapan”, tetapi di kalender Masehi si Octo menempati urutan kesepuluh. Oktober bertahan di posisi kedelapan dalam kalender Romawi sampai dengan tahun 153 SM.
NOVEMBER. Merupakan “Matahari” kesebelas dari tahun Masehi. Nama ini berasal dari bahasa Latin Novem, yang berarti sembilan.
Tapi, janggalnya lagi, meskipun artinya “Sembilan”, di kalender masehi si Novem digeser jadi yang kesebelas.
November bertahan di urutan kesembilan dalam kalender Romawi sampai dengan tahun 153 SM.
DESEMBER. Merupakan “Matahari” keduabelas atau yang terakhir dari periode tahun Masehi. Nama ini berasal dari bahasa Latin Decem, yang berarti sepuluh.
Walaupun artinya “sepuluh”, di kalender masehi sang “Decem” digeser menjadi yang keduabelas atau terakhir.
Desember di urutan kesepuluh dalam kalender Romawi bertahan sampai dengan tahun 153 SM.
Pada Desember inilah diyakini lahirnya Dewa Matahari (25 Desember) yang kemudian diadopsi oleh Kristen menjadi perayaan gereja, yakni Natal Yesus Kristus.
Itulah keanehan dan kejanggalan nama-nama hitungan “Matahari” pada Tahun Masehi yang mengadopsi mitosnya bangsa Romawi Kuno. Dan, lebih aneh bin janggal lagi, umat Islam merayakannya, tanpa memahami akar dan historisnya.Tanpa pengetahuan tentangnya.
Sama halnya dengan natal 25 Desember yang mengadopsi kelahiran dewa matahari, berakar dari Romawi Kuno. Maka, sesungguhnya natal 25 Desember dengan 1 Januari, awal tahun baru masehi, itu adalah satu paket.
Akar, sumber dan historisnya sama. Kalangan gereja “memborong” dua “tema” sekaligus: tema ‘natal’ dan ‘tahun baru masehi 1 Januari’, sehingga jadi semarak.
Jadi, aneh dan janggal pula, jika ada sementara pihak yang mengatakan: mengucapkan selamat natal haram, tapi mengucapkan tahun baru 1 Januari tak apa! Yaa Robb, na’uudzubillaahi mindzaalik.

TAHUN HIJRIYAH
Berbeda dengan penetapan kalender Hijriyah yang dilakukan pada zaman Umar bin Khaththab, diambil dari peristiwa hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (ditemani Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu) dari Makkah ke Madinah.
Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan (nah, penyebutan bulan di sini adalah logis, karena tahun hijriyah mendasari perhitungannya pada bulan), dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman ALLAH SWT:
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) ad-Din yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa,” (At Taubah: 36).
1. Muharram
Artinya, yang diharamkan atau menjadi pantangan. Di bulan Muharram, dilarang untuk berperang.
2. Shafar
Artinya, kosong. Di bulan ini, lelaki Arab pergi untuk merantau atau berperang.
3. Rabi’ul Awal
Artinya masa kembalinya kaum lelaki yang merantau (shafar).
4. Rabi’ul Akhir
Artinya akhir masa menetapnya kaum lelaki.
5. Jumadil Awal
Artinya awal kekeringan. Maksudnya, mulai terjadi musim kering.
6. Jumadil Akhir
Artinya akhir kekeringan. Dengan demikian, musim kering berakhir.
7. Rajab
Artinya mulia. Zaman dahulu, bangsa Arab sangat memuliakan bulan ini.
8. Sya’ban
Artinya berkelompok. Biasanya bangsa Arab berkelompok mencari nafkah.
9. Ramadhan
Artinya sangat panas. Bulan yang memanggang (membakar) dosa, karena di bulan ini kaum Mukmin diharuskan berpuasa/shaum sebulan penuh.
10. Syawwal
Artinya kebahagiaan, peningkatan (setelah ujian Ramadhan, mestinya kualitas amaliah dan hidup menjadi meningkat).
11. Zulqaidah
Artinya waktu istirahat bagi kaum lelaki Arab.
12. Zulhijjah
Artinya yang menunaikan haji.
Rio E. Turipno, S.Psi  (diambil dari Konsultasi Pelajar Muslim)

November 20, 2012

Konflik_Israel_dan_Palestina

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Israel_dan_Palestina

November 18, 2012

Guru Profesional Ciptakan Anak yang Bermoral



 







Syamil Media Online, Bandung - Tugas seorang guru yakni memanusiakan manusia. Karena tanpa pendidikan yang memadai, manusia tumbuh dan mati sebagai binatang jalang.

Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), A Chaedar Alwasilah mengatakan, dibutuhkan sekelompok manusia pilihan (pendidik) yang profesional bukan sekedar mencerdaskan anak negeri namun menciptakan anak negeri yang bermoral, berkarakter atau berakhlakul karimah.

"Sesuai UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang pendidik profesional. Yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan kompetensi sosial," jelas Chaedar dalam orasi ilmiahnya pada sidang senat terbuka STKIP Persatuan Islam di hotel Grand Pasundan, Jalan Peta, Sabtu (17/11/2012).

Berdasar pengalamannya, ada dua siswa yang sempat mengeluhkan tentang pendidik (guru). Yakni guru tak pernah berinteraksi selama tiga tahun sekolah dan hanya menyuruh siswa membaca buku novel. Dengan demikian, buku yang dibeli si murid tetap utuh. Ada pula yang mengaku tak memahami cara mengajar gurunya, terlebih perangainya yang dikenal galak.

Mendapati keluhan itu, Chaedar pun menyimpulkan, guru profesional adalah guru yang saat menerangkan jelas, sabar saat mengajar, memberi inspirasi, tidak memaksakan kehendak pada siswa, tidak segan menjelaskan ulang dan referensi yang diwajibkannya baik, selalu on time dan rajin serta menguasi materi.

"Sedang guru tak profesional, mengeluarkan kata-kata kasar, galak, judes, sensitif, cepat marah, menjenuhkan, jarang masuk, tidak akrab dengan siswa dan tidak menguasai strategi mengajar," tegasnya.

Dalam orasi bertema 'Mempertegas peran STKIP Persatuan Islam sebagai Institusi yang melahirkan tenaga pendidik yang profesional dan berahlakul karimah', Chaedar menyampaikan beberapa prinsip dan prosedur yang harus ditempuh pendidikan untuk mendukung pengajaran berkualitas.

"Tersedia sumber belajar dan mengajar termasuk waktu bagi guru untuk merefleksi atau muhasabah yakni mengadili diri sendiri atas segala langkah dan perbuatan mengajar di dalam dan luar kelas," tandasnya.

Lalu, rasio guru-murid yang rendah. Idealnya satu kelas maksimal 30 orang. Adanya infrastruktur dan peralatan yang baik. Proses dan kebijakan manajemen yang mendukung pemberian penghargaan untuk pengajaran dan pembelajaran yang berkualitas, serta lainnya.

November 13, 2012

Beda Pengertian dgn yang Lain

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing. Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”

“Hai, Jack.” Tanpa senyum.

“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”

“Oh ya?” Tampaknya Bob agak ragu.

Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”

“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”

O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi. “Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

“Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu.”

Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.

Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.

“Halo Jack, Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. Bob”

Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.

Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati

November 03, 2012

Fifi P. Jubilea: Masalah Pendidikan Bukan Hanya Urusan Sekolah


 

“Sekarang ini orang tua di perkotaan menyerahkan masalah pendidikan anak-anaknya pada sekolah dan berusaha untuk memasukkan anaknya pada sekolah yang terbaik yang ada dikotanya. Lalu kemudian ketika terjadi “sesuatu” yang tidak diinginkan atau anaknya berprilaku kurang baik/tidak baik mereka langsung protes pada sekolah,” ungkap Fifi P. Jubilea yang akrab dipanggil Mam Fifi.
Wanita yang aktif dalam berbagai organisasi perempuan dan selalu peduli dengan masalah pendidikan anak , sehingga akhirnya mendorong untuk membuat sekolah Jakarta Islamic School pada tahun 2003. Saat ini Jakarta Islamic School yang awalnya hanya terdiri dari 180 murid Playgroup, TK dan SD sekarang telah berkembang hingga SMU dan juga boarding school yang terdiri di berbagai lokasi di Jakarta, bogor, Bekasi dan Depok.
Sebagai seorang praktisi pendidikan, Mam Fifi selalu menempatkan dirinya sebagai ibu dari 3 orang putera-puteri yang tengah beranjak remaja. Karena itu, beliau yang mempunyai idealisme dan cita-cita tuk menjadikan putera-puterinya mujahid Allah memiliki pengalaman dalam hal implementasi pendidikan dan mendidik putera-puterinya. Berikut ini petikan wawancara wartawan Eramuslim.com, Winny Sulistiani, bersama Mam Fifi disela-sela kesibukannya mengembangkanprogram bagi sekolah Jakarta Islamic School.
Sekarang ini, banyak sekali sekolah Islami yang didirikan dan banyak pula orang tua yang memasukkan anaknya ke sekolah Islam dengan tujuan agar anaknya dapat memiliki pengetahuan agama yang baik dan ahlaq yang baik, dan bukankah hal tersebut pula yang menjadi tujuan dari sekolah Islami?
Sekolah Islam memang memberikan pendidikan agama dengan porsi yang lebih dibanding sekolah-sekolah umum atau sekolah negeri. Setiap sekolah tentunya mempunyai tujuan untuk menjadikan murid-muridnya memiliki ahlaq yang baik dan pengetahuan yang luas serta pondasi agama yang kuat. Namun, masalah pendidikan anak bukan hanya menjadi urusan sekolah.
Jika kita lihat di Quran dan hadist tidak secara spesifik dibahas mengenai pendidikan anak, kemudian jika membaca sirah nabawiyah bagaimana Rasul dulu mendidik pribadi-pribadi tangguh dan sholeh/shalehah adalah dengan menciptakan lingkungan yang kondusif. Hal ini membuktikan bahwa yang perlu dididik dan perlu dirubah adalah lingkungannya. Lingkungan yang terdekat adalah keluarga, kemudian yang kedua adalah sekolah.
Jika keluarga bagus, sekolah bagus akan tercipta lingkungan yang mantap, jika keluarga biasa/tdk bagus sekolah bagus maka menjadi setengah mantap, jika keluarga bagus sekolah tidak bagus jadinya ¾ mantap. Artinya keluarga yang bagus masih lebih baik dibanding keluarga yang tidak bagus/biasa.
Keluarga juga memegang peranan yang penting dalam mendidik anak. Saya sering melihat, ibu-ibu mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, anak-anak menggunakan seragam rapih dengan baju koko dan jilbab untuk anak perempuan, namun ibunya mengantarkan tidak menggunakan jilbab. Atau ada lagi orangtua mengirimkan anak-anak ke boarding school yang memiliki rutinitas tahajud dan ibadah lain yang disiplin, namun kemudian protes ketika anaknya kembali ke rumah anaknya tidak disiplin dan suka bangun siang, dan ketika ditelusuri ternyata kebiasaan di rumah tersebut dari sejak kecil dibolehkan bangun siang dan anggota keluarga yang lain pun bangun siang.
Sekolah yang memiliki kurikulum dan berbagai program untuk menanamkan nilai-nilai dan kebiasan baik terutama dalam hal ibadah dan pondasi agama tentunya perlu didukung pula dengan penguatan pendidikan yang ada dikeluarga. Atau setidaknya sekolah dan keluarga menerapkan pendidikan yang sejalan, karena tetap meski anak lebih banyak menghabiskan waktu disekolah, ia kan tetap kembali ke keluarga dan kebiasaan yang ada di keluarga.
Tetapi bukankah dengan menyekolahkan ke sekolah Islami yang rata-rata “mahal” setidaknya seharusnya sekolah dapat memberikan “bekal” ilmu agama bagi anak?
Inilah yang sudah menjadi pendapat dan stigma di masyarakat kita bahwa dengan menyekolahkan anak ke sekolah Islam maka semua masalah pendidikan diserahkan ke sekolah, dan kadang muncul perkataan “saya kan sudah membayar ke sekolah, jadi apa yang saya dapatkan,”sekolah seperti menjadi institusi jual beli.
Masalah pendidikan anak itu seharusnya menjadi perhatian sejak sebelum menikah. Ketika merancang pernikahan tentu dipikirkan juga kelak akan memiliki anak dan akan memberikan pendidikan seperti apa. Fenomena yang terjadi saat ini pada masyarakat adalah ketika anak lahir, kedua orang tua sibuk mencari nafkah dan kurang memperhatikan anak, sehingga ketika anak mulai tumbuh besar timbulah masalah.
Mendidikan anak itu seperti memahat patung, ketika akan memahat patung liberty misalnya, memahat dilakukan dari bawah mulai dari kaki baru hingga ke kepala. Dan memahat itu tentu membutuhkan skill, membutuhkan ilmu dan membutuhkan modal serta bahan dasar. Tidak jarang ketika memahat terhenti di tengah jalan karena modal yang kurang, atau ketika bahan dasarnya tidak bagus dan skill yang kurang pahatannya menjadi tidak bagus.
Anak juga terlahir dari janin hasil perpaduan dari kedua orang tua, sehingga sedikit banyak akan membawa sifat-sifat orang tua. Untuk itu mendidik juga membutuhkan ilmu dan dimulai dari sejak anak lahir dan terus hingga anak dewasa. Sekolah melatih dan menanamkan nilai-nilai agama tapi jika tidak didukung dan diperkuat dengan implementasi dan pendidikan di keluarga maka akan menjadi timpang.
Sebagai seorang pendiri sekolah yang berbasis Islam dan juga seorang ibu dari anak-anak yang tengah beranjak remaja, bagaimana penerapan Mam Fifi dalam mendidik anak-anak?
Saya membuat sekolah karena waktu itu saya kurang puas dengan sekolah-sekolah yang ada, sehingga saya ingin membuat sekolah yang berbasis Islam dan juga bertaraf Internasional. Saya ingin mendidik generasi yang dapat menjadi pemimpin yang sholeh/sholehah tetapi dapat pula diterima di kalangan internasional.
Karena saya pun memiliki cita-cita dan harapan yang besar untuk anak-anak, saya dan suami juga melakukan berbagai cara untuk mendidik mereka baik melalui sekolah maupun ketika di rumah. Pendidikan agama diajarkan setiap hari, karena sebagai muslim gaya hidup kita adalah gaya hidup sesuai Islam yaitu Quran dan sunnah. Misalnya ketika mengajarkan adab makan kepada anak-anak, dan kemudian anak saya tiba-tiba makan dengan tangan kiri, saya langsung tegur “kamu makan dengan tangan kiri, hati-hati loh setan itu makan dengan tangan kiri, kalo kamu tiap hari makan dengan tangan kiri berarti kamu bikin setan kamu gemuk, yah terserah sih itu kan setan kamu.” Masalah keseharian, ketika ada yang tidak sesuai dengan apa yang telah kita beritahukan kepada anak, langsung ditegur saja, agar mereka mengerti bahwa apa yang mereka lakukan tidak baik.
Untuk pemahaman agama, selain disekolah saya juga melanjutkan di rumah agar terus kontinyu, terkadang saya dan suami sampai memanggil ustadz untuk datang ke rumah dan mengaji/halaqah bersama anak-anak. Tetapi cara tersebut juga menurut saya belum cukup, karena terkadang anak tidak sepenuhnya mendengarkan ustadz, atau terkadang ustadz berhalangan. Akhirnya seperti saya katakan sebelumnya, semua kembali pada keluarga dan terutama pada orang tua. Orang tua yang harus mengambil peranan dalam mendidik anak, karena secara nature mereka akan mengikuti apa yang dilakukan orang tuanya. Sedikit banyak apa yang kita terapkan pada anak, sama dengan apa yang orang tua dulu lakukan pada kita, benarkan?
Sebagai seorang pendiri sekolah saya diharapkan lebih oleh lingkungan, saya dipandang pasti berhasil dalam mendidik anak, dan anak saya pun diharapkan memiliki prestasi yang lebih. Tetapi terus terang tidak semua cara yang saya lakukan berhasil dan efektif, terkadang saya juga stress, tetapi akhirnya saya kembalikan kepada Allah.
Menurut pendapat saya, mengapa kadang orang tua dibuat pusing oleh anak-anak, karena orang tua punya cita-cita punya harapan terhadap anak-anaknya. Ada orang tua yang ingin anaknya memiliki prestasi akademik yang bagus, sehingga ketika nilai-nilai pelajaran anaknya kurang, orang tua memarahi anaknya. Atau orang tua ingin anaknya menjadi artis, sehingga ketika anaknya tidak mau atau bermalas-malasan ketika syuting atau apapun, orang tua marah. Dan ini menurut pendapat saya adalah hal yang tidak penting, konflik antara orang tua dan anak yang tidak diridhoi Allah.
Kemudian jika ingin anak-anak kita menjadi jundi-jundi Allah, maka lakukanlah usaha sebaik-baiknya agar anak kita layak menjadi jundi-jundi Allah kemudian serahkan semuanya kepada Allah sebagai komandan. Karena mendidik anak menurut saya sama juga seperti kita mencari rizki, ada yang harus melalui usaha yang keras namun belum tentu hasilnya memuaskan. Ada juga yang usahanya sedikit tapi hasilnya memuaskan atau dapat project yang besar misalnya. Dengan anak juga begitu ada yang telah berusaha mendidik dengan cara-cara yang baik namun ternyata anaknya tetap terkena narkoba atau hamil di luar nikah, dan ada yang mendidik dengan biasa saja tetapi malah berhasil. Hal ini tentunya merupakan takdir Allah, dan tentu Allah memiliki cerita tersendiri dan ada hikmah yang terkandung didalamnya.
Untuk itu, orang tua tetap perlu untuk mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya dan ditujukan agar anak dapat menjadi pribadi yang berahlaq baik dan diridhoi Allah. Tetapi ketika dalam proses mendidik anak tersebut, kemudian terjadi konflik dengan anak karena tidak sesuai dengan keinginan anak, maka menurut saya ini adalah konflik yang diridhoi Allah, karena mengajak sesuatu pada kebaikan merupakan ibadah. Yang terpenting adalah niat karena Allah dan kita ikhlas dalam menjalan usaha untuk mendidik anak-anak kita dengan cara yang baik, bukan niat atau cita-cita karena ego atau ambisi kita semata menjadikan anak yang sukses dan berprestasi dengan ukuran dunia.

Oktober 18, 2012

Bila anak sering dikritik, ia belajar mengumpat
Bila anak sering dikasari, ia belajar berkelahi
Bila anak sering diejek, ia belajar menjadi pemalu
Bila anak sering dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Bila anak sering dimaklumi, ia belajar menjadi sabar
Bila anak sering disemangati, ia belajar menghargai
Bila anak mendapatkan haknya, ia belajar bertindak adil
Bila anak merasa aman, ia belajar percaya
Bila anak mendapat pengakuan, ia belajar menyukai dirinya
Bila anak diterima dan diakrabi, ia akan menemukan cinta.

Oktober 02, 2012

Tahapan Pelaksanaan Syariat dalam Perspektif Dakwah

A. Pendahuluan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan syariat-Nya sebagai syifa` untuk mengobati segala penyakit kehidupan, memberikan way out (makhraj) dari setiap krisis yang menimpa dan secara umum pada garis horizontal mengkondisikan kehidupan sosial yang saling menguntungkan, sedang pada garis vertikal mengundang turunnya rahmat Allah baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Syariat Islam adalah keimanan (untuk diimani), tapi sebelum itu ia adalah ilmu dan kepahaman (untuk diinternalisasi) lalu sesudah itu langsung tanpa suatu interval harus terwujud sebagai perilaku moral dalam setiap bidang kehidupan.
Pola percontohan untuk itu semua adalah kehidupan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabat beliau yang Allah ridhai. Potretnya secara tepat dibidik oleh kamera Siti Aisyah radliyallhu’anha wa ‘an walidiha “Akhlak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al-Qur`an.” (Riwayat Bukhari)
Pelaksanaan syariat Islam harus sesuai dengan watak syariat itu sendiri, diantaranya adalah konsisten dengan prinsip pentahapan (attadarruj). Hal ini ditunjukkan dengan adanya periode Mekkah dan Madinah dalam tasyri` atau penetapan hukum syara’, juga pentahapan dalam mengatasi setiap masalah besar seperti khamar dan riba. Prinsip pentahapan juga ini merupakan sunnatul hayah atau hukum kehidupan baik biologis apalagi yang kultural. Kemudian iapun merupakan minhaj dalam dakwah untuk mensosialisasikan dan mengaplikasikan syariat, seperti dalam arahan Rasul Allah kepada da’inya Mu’adz ketika beliau mengutusnya ke Yaman.
Kertas kerja ini akan menawarkan garis besar tahap-tahap yang niscaya dilalui dalam menyerukan dan mensosialisasikan pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh. Wallahu al musta’an.
B. Prinsip-Prinsip Aplikatif
Untuk memperbincangkan pelaksanaan syariat secara total dan gradual ada beberapa prinsip yang perlu dikemukakan, yaitu:
1. Prinsip Kesepahaman
Pelaksanaan syariat Islam adalah persoalan setiap muslim secara individual, setiap organisasi Islam baik sosial maupun politik, dan setiap pemimpin Islam di semua tingkatan. Tetapi, sebagai bentuk dari proses perubahan yang direncanakan tentu ada kalangan yang berperan sebagai pengatur dan aktif memperjuangkannya. Mereka adalah para pemimpin umat di lembaga-lembaga sosial maupun politik. Adanya kesepahaman di antara mereka mengenai hal-hal penting dalam pelaksanaan syariat merupakan keniscayaan. Hal-hal yang perlu dirumuskan di atas prinsip kesepahaman adalah:
  • Batasan pelaksanaan syariat.
  • Sifat aplikasi syariat sekaligus atau gradual.
  • Urutan materi syariat yang diaplikasikan menuju aplikasi total secara legal-formal.
Diskusi tentang masalah ini akan disampaikan pada tahap kristalisasi ide dan konsep.
2. Prinsip Klasifikasi
Dengan prinsip ini perlu diklasifikasikan apa saja yang merupakan wilayah pelaksanaan individual, mana yang lebih tepat menjadi wilayah aplikasi bagi unit-unit sosial atau organisasi sosial Islam, dan apa-apa saja yang harus merupakan wilayah aplikasi legal-formal, bahkan mana yang mesti ditangani oleh negara.
Klasifikasi ini akan mempermudah agenda kerja, karena ada fokus tentang materi yang masih harus diperjuangkan secara politis. Adalah tidak mungkin menyerahkan aplikasi syariat seluruhnya kepada masyarakat semata, begitupun tidak tepat menyerahkan semuanya kepada pemerintah.
3. Prinsip Mencermati Realita
Sebagaimana tidak ada paksaan untuk mengimani atau menganut Islam, pelaksanaan syariatnyapun tidak harus berarti memaksakannya kepada realita sosial dengan keputusan legal atau dekrit sekalipun. Karena jika itu dilakukan seperti kata Umar bin Abdul Aziz justru masyarakat akan menolak seluruhnya dan itu adalah suatu bencana. Karenanya mencermati realita atau fiqh al waqi menjadi penting. Di atas bentangan realita masyarakat Nusantara, sejumlah hal signifikan meminta untuk dicatat :
  1. Realita keberagaman agama dengan pekanya isu SARA dan kecemburuan dunia (Barat) Salibi terhadap setiap isu Islamisasi.
  2. Tingkat pemahaman kaum muslimin tentang agamanya yang masih sangat bervariasi dan belum terstandarisasi.
  3. Fenomena yang muncul belakangan ini yaitu mengemukanya potensi disintegrasi yang tidak berhubungan dengan isu syariat tapi ekonomi, politis dan budaya.
  4. Tidak boleh terlewatkan juga untuk dicatat fenomena meluasnya kesadaran Islam di masyarakat, sebagai bagian dari gejala global kebangkitan kesadaran Islam atau shahwah Islamiah.
  5. Begitu pula bukti kegagalan sistem sekuler yang telah mengantarkan bangsa kita pada keterpurukan akibat krisis multidimensional, telah membuka peluang untuk menawarkan sistem kehidupan Islam secara menyeluruh dan sungguh-sungguh.
4. Prinsip Prioritas
Isi syariat Islam tidak sama bobotnya. Kondisi ini terefleksikan dalam hukum syara’ yang diklasifikasikan kepada lima, yaitu fardhu atau wajib, sunat/nadab, jaiz, makruh, dan haram. Di antara perkara yang wajib pun ada yang asasi dan merupakan pilar-pilar syariat ada juga yang di luar itu. Dan ada yang dikategorikan wajib ‘ain (individual) dan wajib kifayah (sosial). Laksana membangun rumah, pelaksanaan syariat juga harus dimulai dari perkara yang fundamental, disusul yang merupakan pilar-pilar dan didahului oleh tiang pancangnya yaitu shalat, kemudian kewajiban individual lainnya, diikuti dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban sosial. Setelah itu barulah perkara yang anjuran. Di antara perkara yang wajib sebagian ulama menyebut kewajiban-kewajiban berskala besar al wajibat al kubra,dan dari analisis waktu Ibnu Qayim menyebut Faraidh al Waqti kewajiban yang mendapat desakan waktu untuk dilaksanakan.
5. Prinsip Alternatif Model
Perjuangan untuk melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dunia Islam telah mencatat beberapa model. Ada model Iran yang mengaplikasikan versi mazhab Syi’ah meski terdapat komponen masyarakatnya yang bermazhab Sunni, digulirkan secara top-down sebagai bagian dari program revolusi. Ada model Pakistan yang memunculkan kerjasama antarpara pakar melalui Komisi Islamisasi dengan pemerintahan almarhum Presiden Ziaul Haq, tetapi tidak diwarisi semestinya oleh pemerintahan berikutnya.
Ada pula model Sudan yang mengandalkan perjuangan politik melalui Front Kebangsaan Islami pimpinan Dr. Hasan Turabi yang memakai pendekatan zona. Zona yang mayoritas Kristen dibebaskan dari Undang-Undang Syariat.
Ada lagi model Afganistan yang mencoba menerapkan wajah Islam puritan yang terkesan kurang mencermati tuntutan modern. Patut dicatat juga model Yaman dan Malaysia yang tengah memproses aplikasi syariat melalui pendidikan atau penyuntikan Islam kedalam tubuh kehidupan termasuk birokrasi, penerapan secara otonom di sementara wilayah, semuanya ditempuh setelah mencantumkannya dalam konstitusi.
Untuk Indonesia tidak mesti menempuh model yang mirip dengan salah satu model tersebut, namun tetap harus dirumuskan.
C. Langkah-langkah Menuju Aplikasi Total dan Formal
Ada beberapa langkali menuju aplikasi syariat secara total dan legali formal, yang secara urut harus ditempuh.
1. Kristalisasi Ide dan Konsep
Setidaknya ada tiga tataran yang dapat disebut berkenaan dengan aplikasi syariat, yaitu:
a). Aplikasi ritual
Sementara kaum muslimin boleh jadi telah merasa at home dengan kebebasan melaksanakan ibadah ritual dan acara-acara seremonial keislaman. Dengan begitu telah merasa melaksanakan syariat Islam. Pandangan ini sangat mungkin masih ada bahkan dominan di kalangan awam dan tradisional.
b). Aplikasi behavioral-kultural
Sebagian kaum muslimin juga lebih percaya dengan efektivitas Islam kultural daripada Islam legal-formal. Istilah mereka yang lebih penting substansinya bukan formalitasnya. Dan setiap upaya melegalkan ajaran syariat hanya mengundang perlawanan dan disintegrasi sosial dalam masyarakat yang multi agama. Pandangan seperti ini masih cukup kuat di kalangan intelektual muslim nasionalis.
c). Aplikasi legal formal
Memandang bahwa aplikasi Islam secara ritual adalah batas minimal yang tidak bisa ditawar. Dan aplikasi Islam kultural merupakan wilayah usaha swasta yang bersifat suka rela memanfaatkan peluang yang diberikan oleh otoritas (situasi) politik. Namun aplikasi Islam secaratotal dan melembaga tidak bisa tidak dilakukan secara legal-formal. Dan ini adalah sebuah perjuangan panjang.
Untuk konteks Indonesia, pelaksanaan syariat secara ritual sudah selesai atau tidak ada masalah. Pelaksanaannya secara behavioral-kultural sedang berjalan dalam proses memperluas wilayah sosial yang taat. Dan alhamdulillah predikat santri tidak lagi membuat seseorang inferior bahkan boleb jadi bangga. Tapi pengalaman berbicara bahwa untuk keperluan memperkuat posisi pernikahan Islami dan Peradilan Agama saja, harus ditempuh langkah legalisasi.
Begitupun dengan keperluan memperkuat posisi penerimaan zakat. Ini menunjukkan bahwa yang relevan sekarang dalam mendefinisikan aplikasi syariat itu adalah aplikasi secara total dan legal-konstitusional. Dengan itu maka aplikasi syariat dalam definisi pertama dan kedua dikokohkan dan dikukuhkan, dan ajaran-ajaran sosial Islam dapat dilaksanakan bahkan bilamana perlu dilembagakan.
Sifat pelaksanaan syariat, apakah sekaligus atau bertahap (gradual). Alternatif pertama terlalu sulit kalau bukan hal yang tidak mungkin. Jika cara gradual yang dipilih, masih harus disepakati beberapa hal yang terkait :
  1. Tahapan materi syariat yang diaplikasikan.
  2. Sasaran-sasaran apa yang hendak diunggulkan dan sekaligus merupakan tolak ukur keberhasilan pelaksanaan syariat.
  3. Tahapan langkah-langkah ke arah aplikasi total dan legal.
Materi Syariah
Mengenal materi syariat yang hendak diaplikasikan dapat dijelaskan dengan menyebutkan struktur kandungan syariat itu sendiri yang terdiri dari:
  1. Pilar-pilar: menegakkan shalat, menunaikan zakat, menjalankan puasa, dan melaksanakan haji. Khitthah pelaksanaan syariat harus mampu mengangkat posisi rukun (arkaan)tersebut dari urusan pribadi menjadi urusan umat. Umat harus dapat memerintahkan individu untuk menegakkan shalat dan memberi sangsi terhadap siapa pun yang tidak menghormatinya. Demikian halnya dengan pelaksanaan puasa. Sedangkan untuk zakat, peran amilin yang mewakili umat harus punya otoritas untuk memungutnya dengan teknik jemput bola : (khudz), bukan hanya menerima zakat yang datang.
  2. Bangunan kehidupan islami: Pola dan sistem komunikasi sosial antar orang Islam dan terhadap non-muslim, kehidupan ekonomi, kehidupan berbudaya dan berpolitik. Pelaksanaan syariat menuntut dimasukinya wilayah-wilayah ini bukan hanya dengan sentuhan etis-moral dan bersifat individual. Melainkan juga dengan ahkamnya yang mempunyai otoritas legal. Komitmen umum terhadap akhlak dan etika sosial merupakan pintu gerbang bagi disiplin aturan dan sadar hukum. Upaya ini harus berjalan seiring dengan penguburan sumber-sumber maksiat, yaitu segala jenis khamar, segala macam perjudian dan segala cara perzinahan.
  3. Aspek penyangga: Dilaksanakannya aturan kepidanaan lslam, amar makruf nahi munkar, dan jihad fi sabilillah. Sistem legal Islam berkulminasi pada hudud yang sangat sensitif dan masih mengundang resistensi yang kuat. Karenanya prinsip pentahapan dan penjadwalan sangat penting untuk dipertimbangkan. Dan konsep “penolakan hukuman karena hal yang kurang meyakinkan (syubhat)” dapat diperluas pemaknaannya sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ibnul Khatthab. Pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar bukan saja secara personal melainkan juga secara institusional, sehingga tidak ada lagi suatu kemunkaran yang di luar jangkauan. Dalam konteks ini lembaga kepolisian diperkuat peranannya dengan fungsi hisbah dalam fikih Islam. Dan dengan memasukkan konsep jihad kedalam fungsi kemiliteran maka tentara nasional bersama-sama rakyat menghadapi ancaman dari luar, masing-masing sebagai kekuatan reguler dan cadangan.
Gerakan amar ma’ruf nahi munkar ini berjalan seiring dan saling menunjang dengan dakwah. Aplikasi syariat secara legal formal juga memberi kekuatan bagi pelaksanaan dakwah. Yang sebelumnya merupakan kerja swasta sukarela, meningkat posisinya menjadi tugas pemerintah bersama masyarakat. Mengutip komentar Fi Zhilalil Qur`an tentang surah Ali Imran ayat 104.
“Mesti ada segmen masyarakat yang secara khusus menjalankan tugas dakwah dan beramar ma’ruf-nahi munkar, begitupun mesti ada penguasa formal yang memikul tugas dakwah dan amar ma’ruf-nahi munkar. Kesimpulan ini diambil dari makna nash Al-Qur`an sendiri yang menyebutkan dakwah dan am run wa nah yun. Jika pelaksanaan dakwah dimungkinkan tanpa kekuasaan formal maka untuk memerintahkan dan melarang dalam konteks masyarakat dan bangsa tidak bisa dijalankan kecuali oleh pemerintah.
Sasaran-Sasaran Utama
Al Mawardi menyebut Sepuluh Kewajiban Negara, yang lebih relevan dengan situasi kita dan perlu diangkat melalui pelaksanaan syariat, adalah hal-hal berikut:
  1. Terjaminnya keamanan umum di semua wilayah negara, bagi jiwa, kehormatan dan harta benda setiap warga.
  2. Terciptanya kepastian dan wibawa hukum, dan hukum syariat berpotensi besar untuk menciptakannya.
  3. Terwujudnya pemerintahan yang cerdas, bijak, dan menjunjung tinggi syura. Sehingga bersama-sama rakyat secara bertahap dapat mengatasi masalah-masalah yang ada.
  4. Tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Sumber daya alam kita khususnya dan faktor-faktor ekonomi secara umum sangat mendukung, tinggal pengelolaannya yang cerdas dan sesuai nilai0nilai Islam.
  5. Memasyarakatnya nilai-nilai etika dan adab (akhlakul karimah), dan terealiensasinya model-model akhlak yang tercela.
  6. Terpenuhinya perasaan at home bagi umat non-muslim, karena merasa diperlakukan secara adil dan lebih baik hidup di bawah sistem sosial Islam.
  7. Terangkatnya wibawa serta nilai dakwah, dan hidupnya semangat beramar ma’ruf-nahi munkar di masyarakat.
Ketujuh hal tersebut harus menjadi isu-isu sentral pada tahap kristalisasi ide dan konsep.
2. Penerangan dan sosialisasi
Proses penerangan dan sosialisasi ini ditempuh baik secara internal maupun eksternal. Secara internal kepada kalangan muslimin yang sudah punya semangat ke arah pelaksanaan syariat maupun mereka yang masih menyimpan suatu keraguan. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan dakwah dengan variasi bahasa hikmah/pencerahan, mau’izhah hasanah dan diskusi mengupas sisi-sisi yang masih perlu dikristalisasikan dan diklarifikasikan lebih jauh sesuai batasan pelaksanaan syariat yang telah dirumuskan.
Sosialisasi eksternal akan menekankan bahasa pencerahan dan diskusi/dialog untuk mengeleminasi kerancuan-kerancuan yang ada seputar isu aplikasi syariat. Perlu dipersiapkan secara khusus sosialisasi kepada umat non-muslim, agar sekalipun tidak mendukung minimal tidak merintangi dengan kekhawatiran-kekhawatiran yang menghantui. Tidak kurang pentingnya mempersiapkan dialog khusus dengan dunia kampus, kalangan nasionalis atau sekuler. Semua itu untuk sosialisasi pada level masyarakat, sedang pada level kelembagaan formal tema-tema sosialisasi disesuaikan dengan posisi dan peran kelembagaan yang bersangkutan dalam konteks aplikasi syariat secara total dan formal.
3. Afirmasi dan Ekstensi
Pemahaman dan pengamalan syariat pada tingkat individu dan rumah tangga relatif sudah berjalan secara linear. Secara kuantitatif barangkali masih sebagian kecil yang memenuhi standar kewajiban, dan secara kualitatif mayoritas nampak masih belum beranjak dari level ritual seremonial.
Pada tingkat perilaku sosial masih banyak kelemahan. Hal ini akibat masih lemahnya mutu pendidikan baik di lingkungan sekolah maupun keluarga dan masyarakat, begitupun dengan kualitas da’wah Islam yang secara umum belum memiliki pola dan sistimatika yang maju.
Betapapun kondisi yang ada harus dijadikan modal yang bisa diafirmasi dan berkembang meningkat seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan dan dakwah. Selain mempertajam realisasi asas integrasi antara ketiga aspek kognitif, apektif, dan motorik, pendidikan dan dakwah hendaknya lebih sungguh-sungguh menampilkan sosok-sosok keteladanan dan membina milieu yang kondusif. Dalam kaitan ini akan dapat membantu jika usaha pendidikan dan dakwah mencanangkan kualitas-kualitas yang hendak dicapai, misalnya:
  • Sasaran pembinaan pribadi muslim yang berkualitas : Lurus akidahnya, benar ibadahnya, kuat / sehat fisiknya, cukup wawasannya, mampu bekerja/aktualisasi diri tanpa bergantung kepada orang lain, bisa membina diri, mencermati waktu, teratur dalam urusannya, dan berguna bagi sesamanya.
  • Sasaran pembinaan keluarga: mempunyai persepsi yang islami tentang pasangan hidup yang ideal, mengetahui serta memenuhi hak dan kewaiban suami-isteri dan sesama anggota keluarga, terpeliharanya etika Islam dalam semua wajah kehidupan rumah tangga, mampu mendidik anak dan pembantu sesuai prinsip dan nilai-nilai Islam, dan mampu membawa keluarganya sebagai keluarga dakwah serta contoh bagi lingkungannya.
  • Sasaran pembinaan lingkungan: tersiarnya nilai-nilai yang baik, teralienasinya nilai-nilai yang tidak baik, terbinanya publik opini yang Islami dan wajah kehidupan sehari-hari yang etis, tingginya apreasiasi terhadap da’wah dan semangat beramar ma’ruf nahi munkar.
Dalam ungkapan lain, suatu target kebangkitan moral niscaya didahului oleh kebangkitan spiritual, dan diawali dengan suatu kebangkitan ilmu dan intelektual di masyarakat melalui pendidikan dan dakwah.
4. Legalisasi
Upaya legalisasi aspek-aspek syariat yang hendak diaplikasikan secara positif bagi Al-Qaradhawi merupakan realisasi fungsi advokas (himayah) sebagai bagian dari fungsi masyarakat terhadap nilai-nilai Islam yang dianutnya. Urutannya setelah fungsi sosialisasi dan afirmasi. Fungsi advokasi ini dijalankan melalui dua jalur:
  1. Jalur kontrol terhadap opini publik agar tetap berada dalam koridor mendukung yang ma’ruf dan menolak yang munkar.
  2. Jalur legalisasi, baik untuk mencegah kemunkaran sebelum terjadi maupun memberantasnya setelah terjadi.
Langkah legalisasi sedemikian penting, tidak bisa diwakili oleh langkah konstitusionalisasi sekalipun. Sebagal contoh soal, Mesir yang sudah lama melakukan konstitusionalisasi syariat, belum juga merealisasikan pelaksanaannya secara menyeluruh, karena upaya legalisasi (taqnin) selalu kandas di tengah jalan. Demikian hal dengan Tap MPR seperti GBHN bisa dianggap tidak dengan sendirinya operasional sebelum dibuat Undang-Undang pelaksanaannya.
Untuk ini organisasi-organisasi massa dan politik Islam, bersama-sama pemikir dan cendekiawan muslim, berkewajiban mendorong dan memberi input konseptual yang diperlukan. Kalaulah kebiasaannya proses legalisasi berjalan secara top-down, maka untuk pelaksanaan syariat perlu dicoba pendekatan bottom -up.
5. Institusionalisasi
Setelah legalisasi berhasil ditempuh, dengan sendirinya diikuti dengan pelembagaan eksekusinya sesuai perintah Undang-Undang atau Peraturan Pelaksanaannya. Tetapi, di luar institusi pemerintah yang bekerja sesuai perintah legislasi, lembaga-lembaga sosial non pemerintah milik umat harus menjadi mitra yang proaktif bahkan jika dimungkinkan lebih aktif dari lembaga pemerintah. Di negara-negara maju lembaga-lembaga swasta peranannya lebih luas dan lebih besar, dan lembaga pemerintah berfungsi sebagal fasilitator.
Lain dari pada itu yang lebih penting dari formal adalah kinerjanya, dan hal ini terkait dengan kualitas Sumber Daya Mnusia yang mengisinya. Dalam hubungan ini organisasi dan lembaga milik ummat perlu antisipatif terhadap kebutuhan SDM berkualitas tersebut dan turut aktif mengisinya.
D. Penutup
Kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi setiap pemeluknya merupakan aksioma agama dan keberagamaan. Tetapi jika hanya diserahkan pada keimanan dan kesadaran moral, pelaksanaannya tidak akan melebihi taraf suka-rela dan bersifat individual belaka. Pengamalan Islam secara behavioral dan kultural, tanpa dukungan otoritas legal formal, tidak cukup mampu membawa kepada pengamalan yang kaffah sebagaimana diperintahkan. Karena itu seperti dirawikan dari Utsman bin Affan: “Allah niscaya menundukkan dengan kekuasaan negara apa-apa yang tidak dapat ditundukkan dengan Al-Qur`an.”
Pelaksanaan syariat secara behavioral, kultural, dan legal formal, merupakan tugas dan target dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Pencapaian semua itu memerlukan kesatuan tekad (tauhid anniyyah), kesamaan ide dan konsep (tauhid al-fikrah), dan kesatuan langkah (tauhid al-amal) antara komponen umat. Dan untuk keperluan ini perlu direkomendasikan hal-hal berikut :
  1. Meredusir pertentangan khilafiah di kalangan ulama dan pertentangan politis antara pemimpin komponen umat, dengan merumuskan dan menajamkan visi bersama dan suatu kerangka kerja sama.
  2. Memperkokoh ikatan sosio-kultural dan politis antardaerah untuk meredam potensi disintegrasi yang menggejala akibat kesalahan-kesalahan politis yang kontra produktif. Masih diyakini bahwa tiada pengikat yang kuat bagi Kaum Muslimin daripada ikatan iman Islam, dan tidak ada kepentingan yang lebih besar daripada pelaksanaan ajaran Islam, bila mana hal itu telah difahami dan disadari.
Allahu al muwafiq ila aqwamith thariq.

September 05, 2012

Mengapa Surat At Taubah tidak diawali Basmalah

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap surah di dalam Alquran selalu diawali dengan kalimat basmalah. Namun, mengapa Surah At-Taubah tidak dicantumkan basmalah?

Syekh Yusuf Qardhawi mengatakan terdapat bermacam pendapat di kalangan ulama mengenai masalah tidak dicantumkannya basmalah dalam Surah At-Taubah ini.

Pendapat yang menurut dia dianggap paling kuat, yakni pendapat Ali bin Abi Thalib RA. “Bismillahir rahmanir rahim adalah suatu kedamaian (ketenteraman), sedangkan Surah At-Taubah diturunkan tanpa kedamaian,” kata Ali.

Surah ini menyampaikan pernyataan umum tentang putusnya segala ikatan dan perjanjian antara kaum Muslimin dengan kaum musyrik, kecuali sebagian perjanjian yang telah ditetapkan masa berlakunya hingga waktu tertentu. Itu pun dengan syarat bahwa perjanjian tersebut tidak mereka rusak atau mereka langgar.

Karena itu, ketika kaum musyrik melakukan berbagai ulah kepada kaum Muslimin, mereka bekerjasama dengan kaum Yahudi dan ingkar janji terhadap kaum Muslimin. Maka tidak ada lagi ikatan perjanjian dan jaminan bagi mereka, tidak ada lagi undang- undang dan peraturan yang harus diberlakukan, serta tidak ada lagi tanggung jawab moral bagi mereka.

Singkatnya, Islam perlu membuat perhitungan dengan mereka. Dari peristiwa inilah kemudian turun Surah At-Taubah (Al-Bara’ah) yang menyatakan pemutusan tali perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya bagi kaum musyrik.

Keberadaan basmalah senantiasa dibarengi rahmat. Sifat Ar-Rahman dan Ar-rahim yang melekat di dalamya memastikan adanya jaminan keamanan dan ketenteraman bagi setiap orang. Adapun Surah At-Taubah bukan surah yang menganjurkan kedamaian.

Di dalam surah ini Allah lebih banyak memerintahkan umat lslam agar memerangi kaum musyrik karena mereka telah melanggar perjanjian. Dalam surat ini terdapat perintah,  "... bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian...” (QS. At-Taubah: 5).

Kemudian Firman Allah, "... dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya.” (QS. At-Taubah: 36).

Demikianlah, tidak ada lagi kebijaksanaan bagi mereka kecuali perang. Tidak ada lagi kebijaksanaan, rahmat, dan ketenteraman. Wallahu a’lam

Agustus 27, 2012

KARAKTERISTIK PEMIKIRAN LIBERAL

Dalam sebuah operasi militer, menjadi sebuah keniscayaan untuk mengenali dengan baik siapa  musuh yang akan dihadapi. Tidak hanya nama dan bentuk wajah, akan tetapi juga pola pikir, kebiasaan, keluarga, teman dan lain sebagainya yang bisa digunakan sebagai alat identifikasi musuh. Ini dilakukan agar tidak terjadi salah tangkap, salah tembak atau yang lebih konyol lagi membahayakan pasukan sendiri karena tidak tahu kondisi musuh.
Demikian juga dalam perang pemikiran (ghozwul fikri), umat Islam harus mengetahui musuh yang dihadapi. Salah satunya adalah karakteristik pemikirannya. Pengusung dan pendukung Islam Liberal sebagai salah satu musuh umat Islam dalam ghazwul fikri, sudah tentu harus dikenal dengan baik pemikiran mereka. Tujuannya agar  umat Islam mengetahui seberapa jauh penyebaran pemikiran mereka dan paham apa yang harus dilakukan.
Tulisan ini mencoba mengungkap beberapa karakteristik para pengusung pemikiran Islam liberal, yang meliputi:
Pertama, mereka percaya pada Allah, tapi bukan Allah yang memiliki sifat-sifat yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak menyukai Allah yang menentukan mana yang baik dan yang buruk bagi manusia. Mereka juga tidak menyukai Allah yang membuat berbagai aturan bagi manusia sehingga mengurangi kebebasan manusia untuk berbuat dan berkreasi. Mereka lebih menyukai konsep Tuhan yang diambil dari akal manusia, yaitu Tuhan yang tidak mencampuri urusan individu manusia. Mereka berkeyakinan bahwa akal lah yang berhak membuat aturan bagi manusia. Akal juga yang bisa menentukan baik-buruknya manusia, tidak boleh ada yang membatasi akal, termasuk Tuhan dan agama. Karenanya mereka menyebarkan berbagai opini ke masyarakat supaya umat Islam juga menganggap bahwa akal-lah yang berhak membuat aturan hidup bagi manusia. Akal yang menentukan mana yang baik bagi manusia dan mana yang buruk bagi manusia. Di antara opini-opini itu antara lain adalah bahwa aturan yang ada di Al-qur’an, hanya untuk masa di mana al-Qur’an diturunkan. Tidak untuk zaman sekarang ini, apalagi masa depan. Karenannya, manusia dengan akalnyalah yang harus ”menafsir” ulang dan menyesuaikan al-Qur’an dengan kondisi saat ini.
Ada juga di antara mereka yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berlaku pada zaman ini adalah ayat-ayat makkiyah saja yang berisi tentang ajaran-ajaran agama secara global dan bersifat universal. Sedangkan ayat-ayat madaniya yang banyak menjelaskan tentang aturan-aturan kemasyarakatan, mereka anggap hanya berlaku untuk masyarakat di zaman itu. Karenanya mereka akan menentang penerapan perda  syari’ah karena dianggap sebagai aturan masyarakat primitif.
Ada juga di antara mereka yang mencoba membuat keraguan umat terhadap kesakralan dan keotentikan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah Swt. Diantaranya mereka mengatakan, ”Al-Qur’an merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi)”, ”Al-Qur’an adalah karangan Muhammad”, dan lain-lain. Dr. Luthfi Assyaukanie, aktivis Islam Liberal, mengejek keyakinan umat Islam terhadap al-Qur’an dengan ungkapannya sebagai berikut: ”Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdzan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum muslim juga meyakini bahwa Al-Qur’an yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam”. (lihat dalam Ijtihad Islam Liberal, 2005, hal. 1).
Di antaranya ada juga yang mengatakan bahwa mushaf utsmani yang beredar dan dibaca di kalangan umat Islam saat ini, bukanlah al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, karena saat penyusunan mushaf utsmani terdapat kepentingan-kepentingan politik dari Khalifah Utsman. Inti dari itu semua adalah supaya umat Islam ragu terhadap al-Qur’an dan tidak menjadikan Allah sebagai pembuat aturan bagi manusia. Boleh menggunakan aturan Allah, asal aturan itu sesuai dengan akal rasio manusia. Jadi bukannya akal yang mengikuti aturan Allah (al-Qur’an dan Hadits), akan tetapi aturan Allah-lah yang harus sesuai dengan akal manusia. Apabila tidak sesuai, harus dicari penafsiran-penafsiran sehingga aturan itu menjadi sesuai dengan akal rasio manusia. Sehingga muncullah hermeneutik, metode yang mereka gunakan untuk ”menafsiri” al-Qur’an supaya sesuai dengan akal rasio. Dengan hermeneutik inilah mereka ”menafsiri” ayat-ayat yang ingin mereka buat supaya sesuai dengan akal pikiran mereka.
Bila usaha aktivis Islam Liberal ini dibiarkan terus menerus dan akhirnya mempengaruhi umat, bisa jadi akan menghasilkan keadaan umat yang mirip dengan gambaran yang diberikan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang perubahan keyakinan orang Barat ketika menerima pemikiran liberal. Mereka yang sebelumnya percaya God created man, telah berubah menjadi Man created God.
Kedua, Islam liberal menganggap bahwa kebenaran Islam itu tidak absolut. Mereka menyebarkan opini bahwa kebenaran adalah bukan milik umat Islam saja, tapi semua agama sama-sama benar. Sebab sama-sama jalan menuju Tuhan yang satu.
Agama yang diridloi Allah bukan hanya agama Islam saja. Surga juga bukan hanya untuk umat Islam saja tapi juga untuk umat agama lain. Seseorang menjadi religius bukan hanya agama yang menjadi faktor utamanya. Orang kafir termasuk ateis pun bisa jadi moralis dan religius, bahkan melebihi umat Islam sehingga berhak menyandang gelar ”Nabi” dan otomatis mereka berhak mendapatkan surga. (ingat! Para Nabi Allah semuanya beragama Islam). Dengan alasan ini, Islam liberal mendorong dan mendukung kebebasan dan toleransi beragama (lihat karakteristik yang kelima)
Ketiga, mereka tidak mempertimbangkan lagi kaidah-kaidah dalam istimbatul ahkam yang disepakati para ulama. Namun kadang mereka juga mencomot kaidah-kaidah tertentu untuk mendukung pemikiran mereka. Bahkan tidak jarang mencomot suatu kaidah yang sudah populer di kalangan umat, namun maknanya sudah dibelokkan dari makna semula. Memang mereka tidak mempunyai sistem yang baku dalam pengambilan hukum (istimbatul hukm) dari nash al-Qur’an dan hadits. Jalan dan metode apapun yang mereka gunakan untuk mendapatkan produk hukum yang mereka inginkan, dan tidak terikat dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati para ulama. Itu semua mereka lakukan dalam rangka membuat ”interpretasi baru” terhadap agama. Dan interpretasi baru itu tidak mungkin mereka dapatkan apabila mereka masih menggunakan kaidah-kaidah yang disepakati oleh para ulama dalam istinbatul ahkam.  Biasanya interpretasi baru terhadap agama yang mereka inginkan adalah seputar kebenaran absolut agama Islam, gender, hak asasi manusia, dan lain-lain.
Selain itu, mereka juga ingin menghilangkan otoritas ulama dalam berijtihad, yaitu dengan menyebarkan opini agar umat Islam tidak lagi terikat dengan hasil ijtihad, fatwa dan interpretasi para ulama, karena pada dasarnya, menurut para aktivis liberal,  setiap manusia adalah ulama dan dengan akalnya masing-masing, setiap manusia bisa membuat interpretasi sendiri terhadap agama.
Keempat, mereka mendorong pemisahan negara dari agama. Agama tidak boleh masuk politik karena agama itu suci, sedang politik itu kotor. Segala sesuatu dan usaha yang dianggap akan memasukkan nilai-nilai agama dalam negara dan politik, akan mereka tolak. Tidak hanya itu saja, mereka juga berusaha membuat opini di masyarakat supaya pola pikir masyarakat sesuai dengan pola pikir mereka. Penerbitan Perda Syari’ah mereka tentang dengan alasan menyebabkan diskriminasi. Partai politik berazaskan agama pun tidak mereka setujui. Mereka berargumentasi dengan sejarah kelabu yang terjadi di Eropa masa lalu, yaitu ketika kerajaan-kerajaan di Eropa pada saat itu memaksakan suatu agama/sekte dan menekan agama/sekte lain. Yang terjadi adalah pembunuhan dan penyiksaan para penganut agama atau sekte minoritas. Namun sayangnya aktivis Islam liberal mengabaikan atau sengaja menyembunyikan tentang fakta sejarah ketika Islam memimpin dunia. Yang terjadi bukanlah penindasan, akan tetapi kemakmuran, keadilan dan toleransi. Selain itu pemikiran tentang pemisahan negara dan agama juga dilandasi oleh konsep mereka tentang Tuhan (lihat karakteristik yang pertama). Mereka tidak mengakui ke-universalitas-an (syumuliyyah) Islam. Mereka tidak mau Islam mengatur seluruh kehidupan manusia. Menurut mereka akal-lah yang berhak mengatur manusia. Bukan Islam ataupun Tuhan.
Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama. Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama tapi bebas dari agama juga. Dengan kata lain bebas beragama dan bebas untuk tidak beragama. Mereka berusaha untuk meniadakan istilah kafir, murtad dan berusaha untuk mengabaikan dan mengubah perlakuan dan/atau sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh agama terhadap kedua golongan itu. Mereka lebih senang dengan menggunakan istilah non muslim, karena lebih netral. Mereka juga akan selalu membela ajaran-ajaran sesat yang bermunculan. Kesemuanya itu mereka lakukan dengan menggunakan jargon membela hak asasi manusia (hak kebebasan sebebas-bebasnya). Namun sayangnya, mereka cenderung tidak memberi kebebasan bagi umat untuk menerapkan syari’ah dalam kehidupan mereka. Ini menunjukkan cara pandang ganda dari para aktivis liberal.

KH Ahmad Badawi, Ulama Muhammadiyah dan Politisi

Muhammadiyah pernah mempunyai tokoh ulama yang juga politisi ulung. Beliau adalah KH Ahmad Badawi. KH Ahmad Badawi ini lahir pada 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4 dari KH Muhammad Fakih. Ayahnya merupakan salah satu pengurus Muhammadiyah pada 1912 sebagai komisaris. Sedangkan ibunya bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik kandung K.H. Ahmad Dahlan).
Dalam keluarga Badawi sangat kental ditanam­kan nilai-nilai agama. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Di antara saudara-saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia masih menempuh pendidikan. Sejak masih belajar mengaji di pondok-pondok pesantren, dia sering membuat kelompok belajar/organisasi yang mendukung kelancaran proses mengajinya.
Usia kanak-kanaknya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Pada tahun 1908-1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar, untuk belajar tentang nahwu dan sharaf. Pada 1913-1915 ia belajar kepada K.H. Dimyati di Pondok Pesantren Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang pintar berbahasa Arab (nahwu dan sharaf) yang telah didapat di Pondok Lerab. Pada 1915-1920 Ahmad Badawi mondok di Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan. Badawi mengakhiri pencarian ilmu agama di Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921.
Pendidikan formalnya hanya didapatkan di Madrasah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, yang belakangan berubah menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi SD Muhammadiyah.
Tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja membuatnya harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi. Masing-masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya dengan berbagai macam cara, dengan tujuan untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial Belanda, dengan berbagai variasi sesuai dengan misi dan visi organisasinya.
Keinginan Badawi untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya dari berbagai pesantren akhirnya mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan orientasi Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya di Muhammadiyah lebih diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah nomor 8.543 pada tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944 (Jusuf Anis, t.t., p. 25).
Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia turut beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean Kulon Progo.
Pada 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan K.H. Mahfudz sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta bergabung di Batalyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan.
Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini kemudian membubarkan diri.
Semenjak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke-Muhammadiyah-an.
Prestasi di bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah Za’imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 1942). Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan potensi wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi muballighat yang handal di daerahnya.
Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Badawi selalu terpilih dan ditetapkan menjadi Wakil Ketua.
Pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.
Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka Muhammadiyah di mata Presiden. KH Ahmad Badawi sangat bijak dan pintar dalam melobi Presiden dengan nuansa agamis. KH Ahmad Badawi tidak menjilat atau menjadi antek Soekarno, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno.
Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya, bila KH Ahmad Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut memperhatikan fatwa Kiai Badawi.
Bagi Muhammadiyah, keadaan ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang terus jalan harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah pada masa itu senafas dan seirama dengan Masyumi, namun ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah.
Bahkan Soekarno sepertinya semakin menyukainya untuk balance of power policy (PP. Muhammadiyah, t.t., halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran Muham­madiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.
Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam. Secara relatif KH Ahmad Badawi bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani kepada Soekarno disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden.
Pada tahun 1968, dalam masa pemerintahan Orde Baru, Kiai Badawi diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Di DPA itu, ia memberikan nasehat kepada Presiden Soeharto di bidang agama Islam. Namun, KH Ahmad Badawi sebenarnya hanya sedikit memberikan nasehatnya pada pemerintahan awal Orde Baru itu. Hal ini dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah melemah. Penyakit yang disandangnya kurang memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk turut berkiprah lebih banyak dalam memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Sebagai seorang pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan Sju’abul-Imam (bahasa Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Hadji (bahasa Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji’il Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams (bahasa Arab), Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia), dan Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis, tt: 27).
KH Ahmad Badawi meninggal hari Jum’at 25 April 1969 pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Usaha para dokter tidak bisa menghadang takdir Allah yang telah ditentukan atasnya.
Di saat meninggal, KH Ahmad Badawi masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang di Muhammadiyah beliau ditempatkan sebagai Penasehat PP. Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta.

Robert Gelhem, pemimpin yahudi di Albert Einstain College masuk Islam

Ada artikel menarik: Robert Gelhem, pemimpin yahudi di Albert Einstain College dan pakar genetika ini mendeklarasikan dirinya masuk Islam ketika ia mengetahui hakikat empiris ilmiah dan kemukjizatan Al-Quran tentang penyebab penentuan iddah (masa tunggu) perempuan yang dicerai suaminya dengan masa 3 bulan.

Ia menambahkan, pakar Guilhem ini yakin dengan bukti-bukti ilmiah. Bukti-bukti itu menyimpulkan bahwa hubungan persetubuhan suami istri akan menyebabkan laki-laki meninggalkan sidik (rekam jejak) khususnya pada perempuan. Jika pasangan ini setiap bulannya tidak melakukan persetubuhan maka sidik itu akan perlahan-lahan hilang antara 25-30 persen. Setelah tiga bulan berlalu, maka sidik itu akan hilang secara keseluruhan. Sehingga perempuan yang dicerai akan siap menerima sidik laki-laki lainnya.

Bukti empiris ini mendorong pakar genetika Yahudi ini melakukan penelitian dan pembuktian lain di sebuah perkampungan Afrika Muslim di Amerika. Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa setiap wanita di sana hanya mengandung dari jejak sidik pasangan mereka saja. Sementara penelitian ilmiah di sebuah perkampungan lain di Amerika membuktikan bahwa wanitanya yang hamil memiliki jejak sidik beberapa laki-laki dua hingga tiga. Artinya, wanita-wanita non Muslim di sana melakukan hubungan intim selain pernikahan yang sah.

Yang mengagetkan sang pakar ini adalah ketika dia melakukan penelitian ilmiah terhadap istrinya sendiri. Sebab ia menemukan istrinya memiliki tiga rekam sidik laki-laki alias istrinya berselingkuh. Dari penelitiannya, hanya satu dari tiga anaknya saja berasal dari dirinya. Setelah penelitian-penelitian yang dilakukan ini akhirnya meyakinkan sang pakar Guilhem ini memeluk Islam. Ia meyakini bahwa hanya Islamlah yang menjaga martabat perempuan dan menjaga keutuhan kehidupan social. Ia yakin bahwa wanita Muslimah adalah wanita paling bersih di muka bumi ini.

Agustus 20, 2012

Keluarga rukun adalah awal ketenangan. Kerja tekun adalah pangkal kemenangan.
Nah, penataan dan pembinaannya  harus dimulai dari diri sendiri, baru  kita bisa membina yang lain untuk rukun dan penuh santun. Jika semua itu kita lakukan, insyaallah semua kegiatan bisa sukses, lancar, dan anggun. Ada pepatah mengatakan:

"Kebenaran dasar tentang kehidupan
adalah bahwa setiap orang selalu
mendekat pada mereka yang
meningkatkan mereka, dan menjauh dari
siapapun yang merendahkan mereka"
- John C. Maxwell
Temanku yang luar biasa... Pribadi yang baik adalah pribadi yang mampu mengerti dan memahami dirinya
sendiri. Pribadi yang baik adalah
mereka yang mengetahui apa yang
diinginkan, dan tau apa yang menjadi
visi dan misi dalam hidupnya.
Nah, dalam hubungan sosial, marilah
kita untuk tidak selalu menunggu
dipedulikan orang lain, baru kita
peduli. Dengarkanlah terlebih dahulu
orang lain, pahami kondisi dan posisi
mereka. Pahami apa yang menjadi
keinginan mereka, maka dengan
sendirinya kita akan dipedulikan.
Pribadi yang dicari adalah pribadi
yang mampu memahami dan mengerti
orang lain terlebih dahulu, bukan
pribadi yang mengedepankan egoisme,
memaksakan kehendak, atau merasa
paling benar.
Marilah kita untuk TIDAK menunggu
contoh, baru bergerak mengikuti, tapi
mari kita bergerak terlebih dahulu,
dan jadilah contoh yang baik untuk
orang-orang di sekelilingmu.

Agustus 18, 2012

18 Agustus 1945, Sehari Pasca Proklamasi, Umat Islam Dikhianati

http://salam-online.com/2012/08/18-agustus-1945-sehari-pasca-proklamasi-umat-islam-dikhianati.html

Agustus 15, 2012

Kisah Nyata...

Pagi itu seorang pria menjalani rutinitasnya seperti biasa. Sebagai seseorang yang mempunyai relasi luas
dan sibuk, ia selalu menyempatkan diri untuk membaca kolom pengumuman termasuk juga kolom berita kematian. Tiba-tiba matanya membaca sebuah berita, berita yang sangat mengejutkan dan membuat bulu kuduknya merinding. Ia sedang membaca berita kematiannya sendiri.
Pria ini terhenyak, ia lalu bertanya kepada dirinya sendiri, apakah ia masih hidup? Apakah saat ini ia ada
di dunia atau di alam baka? Saat ia menyadari bahwa ada sebuah kesalahan dalam berita ini, mungkin karena memiliki nama yang sama, pastilah redaksi koran ini telah melakukan kesalahan.
Namun karena rasa penasaran ia pun melanjutkan membaca berita tersebut. Ia ingin tahu apa tanggapan orang mengenai dirinya.
Dalam artikel itu ia disebut dengan panggilan 'raja dinamit' telah wafat. Pada bagian lain ia juga disebut
sebagai 'partner dewa kematian'. Ia terkejut bukan kepalang, apakah seperti ini dirinya akan dikenang oleh orang-orang? Kejadian ini membuka pikirannya, ia lalu memutuskan bahwa ia tidak ingin dikenang seperti itu. Ia bertekad mulai saat itu juga ia akan berjuang demi kedamaian dan kemanusiaan.
Begitulah akhirnya, pria yang bernama Alfred Nobel ini dengan tekadnya ia berusaha hingga pada akhirnya namanya diabadikan dalam hadiah perdamaian--yaitu Nobel Prizes.
Bagaimana dengan Anda? Seperti apa Anda ingin dikenang oleh orang-orang yang Anda tinggalkan? Warisan apa yang akan Anda sumbangsihkan demi mashlahat umat banyak? Apakah orang-orang akan mengingat Anda dengan penuh cinta dan rasa hormat?
Mari kita bersegera lakukan sebanyak kebaikan, mulai hari ini, detik ini,  saat ini juga.

Agustus 13, 2012

Bunga? Ribakah?
 
A.     Pengertian Bunga dan Riba
1.       Bunga
Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is "A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned". (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA).
Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal. 
               2.           Riba
Secara bahasa Riba (الربا) berarti Ziyadah. (زيادة) yaitu tambahan, tumbuh, tinggi dan naik .
Dimana Allah SWT berfirman :
Artinya: "Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah." (Q.S Al-Hajj : 5)
Secara Etimologi ilmu fiqih, riba yaitu: Tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua pihak yang terlibat tanpa ada imbalan tertentu. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil” (Q.S An-Nisa : 29).
Dalam kaitannya dengan ayat tersebut diatas mengenai makna al-bathil, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan: bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (Ziyadah), namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang  yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya:
1.      Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari:
Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”
2.      Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi:
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
3.      Imam An Nawawi dari mazhab Syafi’i:
“Salah satu bentuk riba yang dilarang Al Qur’an dan As Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
Ja’far Ash Shadiq dari kalangan Syiah:
Ja’far Ash Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah I mengharamkan riba – “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”
4.      Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali
Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab: Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas pe-nambahan waktu yang diberikan.”
B.     Jenis-Jenis Riba
Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba Al-Fadhl dan riba An-Nasa’. Sedangkan Imam As-Syafi’i membaginya menjadi tiga, yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa’ dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash Al Qur’an dan hadits Nabi”
Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan Riba Nasi’ah.
1.      Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2.    Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3.    Riba Fadhl
Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan “barang ribawi”. Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandung, terigu, kurma dan garam saja. Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).
Di luar keenam jenis barang itu tentu boleh terjadi penukaran barang sejenis dengan kadar dan kualitas yang berbeda. Apalagi bila barang itu berlainan jenisnya. Tentu lebih boleh lagi.
Ø Emas : Barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Ø Perak : Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak 200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Ø Gandum : Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Ø  Terigu : Demikian juga barter terigu dengan terigu hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Ø Kurma : Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Ø Garam
4.    Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah disebut juga riba Jahiliyah. Nasi’ah bersal dari kata nasa’ yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Contoh : Ahmad ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 144 juta dengan bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.
C.     Riba Menurut Agama-Agama
1.         Konsep Bunga di Kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang umatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan:
Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Ø  Pinjaman biasa (6 % – 18%)
Ø  Pinjaman properti (6 % – 12 %)
Ø  Pinjaman antarkota (7% – 12%)
Ø  Pinjaman perdagangan dan industri (12% – 18%)
Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate).  Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu:
Ø  Bunga maksimal yang dibenarkan (8 – 12%)
Ø  Bunga pinjaman biasa di Roma (4 – 12%)
Ø  Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma) (6 – 100%)
Ø  Bunga khusus Byzantium (4 – 12 %)
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka,  Plato (427 – 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktik bunga.  Begitu juga dengan Cato (234 – 149 SM) dan Cicero (106 – 43 SM).  Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga.
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Sedangkan Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai  alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahli filsafat Yunani. Cicero memberi nasihat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yakni memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Cato memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman.
                              i.     Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.
                            ii.     Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.
Ringkasnya, para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh masyarakat umum pada waktu itu. Kenyataan bahwa bunga merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat merupakan akar kelahiran pandangan tersebut.
2.      Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I – XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.
St. Gregory dari Nyssa (335 – 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena keduanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
1.      Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. Barang siapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
2.      Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
3.      First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
4.      Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
3.      Larangan Riba Dalam Islam
Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya umat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah.
a.      Larangan Riba dalam Al Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah . sebagaimana firman-Nya :
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Sebagaimana firman-Nya :
Artinya: Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi  jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.
Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Sebagaimana firman-Nya :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami  jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan bahwa:
“Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah  bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang  juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah – seperti sediakala – tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur  Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur  Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah dan turunlah ayat di atas. Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab "jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.”
b.      Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada Al Qur’an melainkan juga Al Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al Quran, pelarangan riba dalam hadits lebih terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah masih menekankan sikap Islam yang melarang riba. “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus di-hapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya adalah:
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah e melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (H.R. Bukhari no. 2034, kitab Al Buyu).
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah e bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” (H.R. Muslim no. 2971, dalam kitab Al Masaqqah)
Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (H.R. Muslim no. 2995, kitab Al Masaqqah).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah e berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.
“Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya
Adapun pendapat ulama mengenai hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan penting kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkaitan dengan riba dan pembungaan uang.
1.      Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989).
Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan :
a.       Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur¡¦an dan As Sunnah.
b.      Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
c.       Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
d.      Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk meng-usahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).
2.      Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini :
a.       Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut rente.
b.      Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c.       Syubhat: (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
3.      Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta Sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu :
a.       Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
b.      Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
Hasil kesepakatan inilah yang melatar-belakangi didiri-kannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
4.      Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5.      Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al Azhar, Cairo, pada bulan Muharram 1385 H./ Mei 1965, ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara ulama-ulama besar yang hadir pada saat itu antara lain, Syeikh al Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya.
D.    Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta meng-haramkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
Bunga
Bagi Hasil
a.
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
a.
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
b.
Besarnya persentase berda-sarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
b.
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c.
Pembayaran bunga tetap se-perti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
c.
Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang di-jalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi se-dang “booming”.
d.
Jumlah pembagian laba me-ningkat sesuai dengan pe-ningkatan jumlah penda-patan.
e.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
e.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
E.     Dampak Riba Terhadap Masyarakat
Allah Berfirman:
Artinya: “dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Menurut pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada intelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas.
Pandangan umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39, “ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39).
Ayat ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan Al-quran ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang, karena riba secara empiris telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian, khususnya bila ditinjau dari perspektif makro
Harus dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut dalam konteks ekonomi makro, bukan ”hanya” ekonomi mikro. Bahkan sisi ekonomi makro jauh lebih besar. Kesalahan umat Islam selama ini adalah membahas riba dalam konteks ekonomi mikro semata.
Membicarakan riba dalam konteks teori ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.
Padahal dalam ayat, Al-Quran menyoroti praktek riba yang telah sistemik, yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen ekonomi, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem ekonomi kapitalisme.Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.
Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.
1.      Dampak Ekonomi
Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang  diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan  karena salah satu elemen dan penentuan harga adalah suku bunga.  Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat  penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan  peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila  bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah  hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada  akhirnya negara-negara penghutang harus berhutang lagi untuk  membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-  menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan  struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.
Selain itu, Diwany (2005) menyatakan bahwa sistem keuangan yang diterapkan di dunia saat ini yang didasarkan pada bunga (riba) bertentangan dengan konsep “entropi”. Entropi menggambarkan tingkat ketidakteraturan dalam suatu sistem fisika, dan secara alamiah laju peningkatan level ketidakteraturan atau entropi akan menurun dari waktu ke waktu. Sistem keuangan saat ini yang menerapkan bunga (interest) menurut Diwany menyebabkan laju penurunan ketidakteraturan yang semakin tingi dari waktu kewaktu. Diwany menjelaskan bagaimana kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat pembukaan lahan pertanian dengan dana pinjaman yang didasarkan bunga.
Berdasarkan analisis Michael Lipton tahun 1992 (dalam Diwany. 2005) menyimpulkan bahwa, semakin tinggi suku bunga maka semakin rendah insentif untuk menerapkan teknik pertanian yang memperhatikan konservasi lingkungan. Selanjutnya Lipton menjelaskan bahwa peningkatan suku bunga secara dramatis pada tahun 1977 – 1979 dan bertahan sampai sekarang, telah  meningkatkan insentif dalam kalangan rumah tangga, lingkungan bisnis dan pemerintah untuk menghabiskan sumber-sumber daya alam sekarang serta mengabaikan akibat yang ditimbulkannya di masa yang akan datang. Dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa makin tinggi suku bunga maka makin besar kemungkinan rusaknya lingkungan dan akan semakin besar sumber daya yang dikuras, akibatnya akan semakin cepat bumi ini hancur.
Fakta lain dari bunga (interest) atau “riba” menunjukkan bahwa tidak saja membuat orang miskin tetapi juga membuat banyak negara (berkembang) makin miskin dan makin besar hutangnya. Hutang negara berkembang lebih dari tiga trillion US dollars dan masih terus tumbuh. Hasilnya adalah setiap laki-laki, wanita dan anak-anak di negara berkembang (80% dari populasi dunia) memiliki hutang $600  atau sekitar Rp 5,6 juta, (kurs 1 $=Rp9500), dimana pendapatan rata-rata masyarakat pada negara yang paling miskin kurang dari satu dollar per hari.
Selain itu, sistem bunga dalam sektor keuangan telah menimbulkan krisis ekonomi. Sepanjang abad 20, (Roy Davies dan Glyn Davies. 1996) dalam buku mereka a history of money from ancient times to the present day, menyatakan bahwa telah terjadi lebih dari 20 krisis (kesemuanya merupakan krisis sektor keuangan). Pasar finansial menjadikan dunia ini melengkung, sehingga kita tidak bisa melihat apa yang ada dibalik kaki langit. Pasar finansial selalu dipenuhi oleh informasi yang tidak pasti dan tidak lengkap, tidak transfaran. Itulah sebabnya menurut Smick, krisis keuangan yang terjadi pata tahun 2007 – 2008 masih merupakan krisis awal. Ini berarti bahwa krisis-krisis lain akan terus bermunculan dan waktu terjadinya dari krisis satu ke krisis lain semakin singkat.
Berdasarkan fakta yang ada, ternyata negara yang ekonominya tidak terpengaruh secara signifikan terhadap krisis ekonomi global yang terjadi akhir 2008 adalah negara-negara yang tidak berhubungan dengan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan yang ada di Amerika Serikat. Dan dari perkiraan ternyata juga bahwa, negara yang berbasis komoditi (bukan keuangan/financial seperti AS) telah mengalami pemulihan ekonomi dari krisis global lebih dulu dibandingkan dengan negara-negara yang berbasis pada sektor keuangan. Hal ini diungkapkan oleh Norbert Walter (Rini, 2009) bahwa,  menurut Norbert Walter, Indonesia akan keluar dari kriris ekonomi lebih awal karena, ekonomi Indonesia berbasis pada komoditi yang secara pasti tidak tergantung pada tingkat bunga (interest)
Fakta lain menunjukkan bahwa sektor keuangan yang menggunakan sistem non riba ternyata lebih mampu bertahan dari krisis keuangan. Lihat saja bank-bank Islam di Malaysia, Indonesia, Arab Saudi, ternyata tidak terpengaruh dengan krisis keuangan yang terjadi akhir-akhir ini. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa sistem keuangan yang didasarkan riba atau bunga sudah pasti sudah tidak bisa diandalkan di masa datang.
2.      Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para  pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain  agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen  lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa  yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu  nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen?  Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa  memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa  berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan  menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang  yang dikelola pasti untung.
3.      Bunga dan Egoisme Moral-Spiritual
Maulana Maududi dalam bukunya Riba menjelaskan bahwa institusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan melalui pengaruhnya terhadap  karakter manusia. Di antaranya, bunga menimbulkan perasaan cinta  terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan harta bagi  kepentingannya sendiri, tanpa mengindahkan peraturan dan peringatan  Allah.  Bunga, disebut Maududi, menumbuhkan sikap egois, bakhil, berwawasan  sempit, serta berhati batu. Seorang yang membungakan uangnya akan  cenderung bersikap tidak mengenal belas kasihan.
a.       Hal ini terbukti bila si peminjam dalam kesulitan, maka asset apa  pun yang ada harus diserahkan untuk melunasi akumulasi bunga yang  sudah berbunga lagi. la juga akan terdorong untuk bersikap tamak,  menjadi seorang pencemburu terhadap milik orang lain, serta  cenderung menjadi seorang kikir.
b.      Secara psikologis, praktek pembungaan uang juga dapat menjadikan  seseorang malas untuk menginvestasikan dananya dalam sektor usaha.  Hal ini terbukti pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia baru-  baru ini. Orang yang memiliki dana lebih baik tidur di rumah sambil  menanti kucuran bunga pada akhir bulan, karena menurutnya sekalipun  ia tidur uangnya bekerja dengan kecepatan 60 % hingga 70 % per tahun.
c.       Hidup dalam sistem ribawi
4.      Bunga dan Kepongahan Sosial-Budaya
Secara sosial, institusi bunga merusak semangat berkhidmad kepada  masyarakat. Orang akan enggan berbuat apa pun kecuali yang memberi keuntungan bagi diri sendiri. Keperluan seseorang dianggap merupakan  peluang bagi orang lain untuk meraup keuntungan. Kepentingan orang-  orang kaya dianggap bertentangan dengan kepentingan orang-orang  miskin. Masyarakat demikian tidak akan mencapai solidaritas dan  kepentingan bersama untuk menggapai keberhasilan dan kesejahteraan.  Cepat atau lambat, masyarakat demikian akan mengalami perpecahan.
Dalam kancah hubungan Internasional, bunga telah meretakkan  solidaritas antarbangsa. Pada masa Perang Dunia II, Inggris meminta  para sekutu perangnya yang lebih kaya untuk membantu keuangannya  tanpa bunga. Amerika Serikat menolak memberi pinjaman tanpa tambahan  bunga, dan karenanya Inggris terpaksa menyetujui persyaratan  perjanjian pinjaman yang dikenal sebagai Brettonwood Agreement.
Desakan kebutuhan peperangan membuat Inggris terpaksa menyetujui  persyaratan kontrak pinjaman tersebut. Meskipun demikian, Inggris  memendam perasaan marah dan sedih yang sangat mendalam. Hal tersebut  tercermin dari tulisan-tulisan John Maynard Keynes, Churchil, dan  Dr. Dalton. Churchil menyebut perjanjian itu sebuah perlakuan dagang  dan Dr. Dalton menyatakannya dalam Sidang Parlemen, "Kita telah memohon pinjaman tanpa bunga, tetapi kita diberi jawaban bahwa  pinjaman itu bukan politik praktis."
5.      Bunga dan Kedzaliman Ekonomi
Ada berbagai macam jenis pinjaman sesuai dengan sifat pinjaman dan  keperluan si peminjam. Bunga dibayarkan untuk berbagai jenis hutang  tersebut.
6.      Pinjaman Kaum Dhu'afa
Sebagian besar kaum dhu'afa mengambil pinjaman untuk memenuhi  kebutuhan sehari hari. Sebagian pendapatan mereka pun diambil alih  oleh para pemilik modal dalam bentuk bunga.  Jutaan manusia di negara-negara berkembang menggunakan seluruh  hidupnya untuk membayar hutang yang diwariskan kepada mereka. Upah  dan gaji mereka umumnya sangat rendah. Pemotongan untuk membayar  bunga membuat upah mereka yang tersisa menjadi sangat sedikit, dan  memaksa mereka hidup di bawah standar normal.
Pembayaran angsuran bunga yang berat secara terus-menerus terbukti  telah merendahkan standar kehidupan masyarakat serta menghancurkan  pendidikan anak-anak mereka. Di samping itu, kecemasan terus-menerus  peminjam juga mempengaruhi efisiensi kerja mereka. Hal tersebut  bukan hanya mempengaruhi kehidupan pribadi dan keluarga peminjam, namun juga memperlemah perekonomian negara.  Pembayaran bunga juga menurunkan daya beli di kalangan mereka.  Akibatnya, industri yang memenuhi produk untuk golongan miskin dan  menengah akan mengalami penurunan permintaan. Bila keadaan tersebut  terus berlanjut, secara berangsur-angsur tapi pasti, sektor industri  pun akan merosot.
7.      Monopoli Sumber Dana
Pinjaman modal kerja biasanya diajukan oleh para pedagang,  pengrajin, dan para petani untuk tujuan-tujuan yang produktif.  Namun, upaya mereka untuk dapat lebih produktif tersebut sering  terhambat atau malah hancur karena penguasaan modal oleh para  kapitalis.
a.       Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pengusaha besar dan  konglomerat yang dekat dengan sumber kekuasaan memiliki akses yang  kuat terhadap sumber dana. Manuver-manuver pengusaha besar ini  seringkali mengorbankan kepentingan pengusaha dan pengerajin kecil.  Di samping tingkat suku bunga yang lebih besar untuk pengusaha  kecil, tidak jarang konglomerat juga mengambil jatah dan alokasi  kredit si kecil.
b.      Modal tidak diinvestasikan pada berbagai usaha yang penting dan  bermanfaat bagi masyarakat melainkan lebih banyak digunakan untuk  usaha-usaha spekulatif yang seringkali membuat keguncangan pasar  modal dan ekonomi.
c.       Kehancuran sektor swasta di Indonesia dalam krisis ekonomi pada  akhir tahun 1990-an antara lain disebabkan melonjaknya beban bunga  tersebut. Struktur bunga tetap untuk jangka panjang pun dapat  menghancurkan perusahaan yang tengah berkembang bila keuntungan yang  diperolehnya tak cukup untuk menutupi beban bunga tersebut.
F.     Solusi Penaggulangan Riba
Riba diharamkan dalam setiap transaksi maupun aktivitas ekonomi dalam sistem ekonomi Islam. Dari fakta-fakat yang telah dijelaskan di atas telah terbukti baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun bukti-bukti empiris bahwa dengan menerapkan riba dalam aktivitas ekonomi telah menimbulkan kehancuran ekonomi, kemiskinan, inflasi, krisis ekonomi dan perusakan lingkungan. Karena itu aktivitas ekonomi yang dilandaskan pada prinsip bunga atau riba perlu dihilangkan. Untuk menghilangkan praktek riba dalam aktivitas ekonomi maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1)      Optimalisasi Sosialisasi sistem ekonomi Islam dan tingginya daya rusak riba dalam kehidupan ekonomi.
2)      Adanya kemauan politik (politic will) dari pemerintah untuk menerapkan sistem ekonomi Islam.
3)      Memperbanyak dan mempermudah pembentukan lembaga keuangan non riba ( Bank Islam, BPR Islami, BMT dll).
4)      Perlu dilakukan proyek-proyek percontohan dalam bentuk Desa/Kecamatan Syariah.
5)      Memberikan bantuan modal bagi masyarakat dengan sistem bagi hasil.