Mei 16, 2012

Harta = Kebaikan

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (سورة العاديات: 8)

"Sesungguhnya manusia sangat bakhil karena kecintaannya terhadap hartanya." (QS. Al-'Aadiyaat: 8)


Ayat ini berbicara tentang sebuah kenyataan tentang tabiat manusia secara umum terkait dengan hartanya. Yaitu bahwa manusia sangat cinta terhadap hartanya. Ada pula yang menafsirkan bahwa kecintaannya terhadap harta, mendorong manusia untuk bersifat bakhil, enggan mengeluarkannya di jalan Allah.

Yang menarik dari ayat tersebut adalah bahwa Allah menyebutkan harta dengan ungkapan (الخير) yang secara harfiah artinya 'kebaikan'. Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud 'kebaikan' dalam ayat di atas adalah harta. Begitu pula kata yang sama untuk makna yang sama terdapat dalam Surat Al-Baqarah: 180.

Abu Bakar Al-Jazairi mengatakan bahwa harta disebut dengan istilah 'kebaikan' berdasarkan urf  (kebiasaan), maksudnya sudah dikenal di tengah bangsa Arab bahwa yang dimaksud (الخير) adalah harta, juga karena dengan harta akan dapat dilakukan berbagai kebaikan jika dikeluarkan di jalan Allah. (Tafsir Muyassar, Al-Jazairi)

Dari sini setidaknya dapat disimpulkan bahwa sebenarnya harta secara langsung bukanlah 'sumber keburukan', meskipun kenyataannya banyak manusia yang tergelincir karenanya. Maka, enggan mencari harta dengan alasan agar tidak tergelincir bukanlah jawaban yang tepat, bahkan bisa jadi itu menjadi sebab ketergelinciran dari pintu yang lain. Karena, banyak juga keburukan yang terjadi akibat kekurangan harta.

Namun yang harus diluruskan adalah sikap kita terhadap harta, bahwa dia bukanlah tujuan dan sumber kebahagiaan itu sendiri, tapi sarana untuk mendapakan kemuliaan dalam kehidupan dan merelisasikan kebaikan untuk meraih kebahagiaan. Dengan paradigma seperti ini seseorang akan semangat berusaha meraih harta dan menyalurkannya dengan cara yang halal.  Bahkan dalam surat Al-Araf ayat 32, Allah mengisyaratkan bahwa tujuan Dia menciptakan harta (perhiasan dunia) pada hakekatnya adalah untuk orang beriman.

Maka, 'cinta harta' atau 'mengejar harta' tidak dapat secara mutlak dikatakan buruk. Sebab, selain cinta harta memang dasarnya adalah fitrah, diapun dapat menjadi pintu kebaikan yang banyak selama digunakan dengan benar.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrad-nya, dari Amr bin Ash, dia berkata, "Rasulullah saw memerintahkan aku untuk menemuinya dengan membawa perlengkapan pakaian dan senjata. Maka aku datang menghadap beliau saat beliau sedang berwudhu, lalu dia memandangiku dari atas hingga bawah. kemudian berkata, "Wahai Amr, aku ingin mengutusmu dalam sebuah pasukan, semoga Allah memberimu ghanimah dan aku ingin engkau mendapatkan harta yang baik." Maka aku berkata, "Sungguh, aku masuk Islam bukan karena ingin harta. Tapi aku masuk Islam karena Islam dan aku dapat bersama Rasulullah saw." Maka Rasulullah saw bersabda,

يا عَمْرو ، نِعْمَ المَالُ الصَّالِحُ للمَرءِ الصَالِحِ

"Wahai Amr, sebaik-baik harta, adalah milik orang yang saleh."

Ucapan Rasulullah saw ini setidaknya memberikan dua pesan kepada kita; Semangat membina diri agar menjadi orang saleh dan semangat berusaha agar menjadi orang kaya… 

Abdullah bin Mubarak suatu hari menjamu makan orang-orang miskin, lalu setelah itu dia berkata,

لَوْلاَكَ وَأَصْحَابَكَ مَا اتَّجَرْتُ
"Kalau bukan kalian dan orang-orang seperti kalian, saya tidak akan  berdagang…." (Siyar A'lam An-Nubala..)

Wallhua'lam.
Menjadikan Bulan Rajab dan Sya'ban Sebagai 'Ramadhan'

Saat ini kita sudah memasuki bulan Rajab yang menandakan dua bulan ke depan akan tiba bulan suci Ramadhan 1431 H. Berarti aura bulan Ramadhan itu sudah demikian dekatnya menyapa diri kita. Ini sekedar mengingatkan saja. Sebagai seorang muslim sejati dan merindukan kebaikan, pasti akan selalu memantau saat-saat di mana kebaikan kita akan meningkat dan pahala ketaatan kepada Allah itu memanen pahala yang besar.

Untuk menyegarkan kembali igatan kita tentang hakikat tarhib Ramadhan nanti, mari kita simak sabda Rasulullah junjungan tercinta berikut yang merupakan hadits Tarhib Ramadhan:
 
اللهم بارك لنا فى رجب وشعبان وبلغنا رمضان

"Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan."(HR. Thabrani dan Baihaqi)

Hadits mungkin sudah poupuler di kalangan kita. Bahkan ia menjadi tazkiroh untuk mempersiapkan diri menyongsong bulan mulia itu.

Namun ada sedikit ulasan mengenal hakikat tarhib ini;

1. Keberkahan pada dua bulan, Rajab dan Sya'ban.

Ramadhan adalah penghulu semua-bulan Hijriah sebagaimana hari jum'at adalah penghulu semua hari-hari yang tujuh. Setiap tahun Ramadhan datang menyapa dan setelah itu pergi lagi. Keutamaan begitu banyak dan memang tidak mudah digapai seluruhnya oleh setiap muslim kecuali dengan susah payah dan kebersihan hati serta keikhlasan jiwa. Bagaikan sang pengantin yang bersiap-siap menemui si calon mempelainya dengan segudang rasa, seorang muslim yang merindukan bulan suci ini tidak akan menyia-nyiakan pertemuannya dengan Ramadhan.

Untuk mengoptimalkan saat-saat fenomenal bersama Sang Kekasih itulah, ia sudah bersolek mempersiapkan segala-galanya dengan harapan semua fadhilah yang ada di dalamnya bisa ditangguk secara menyeluruh. Oleh karena itu, Rasulullah mengajak kita, umatnya untuk melakukan warming up di dua bulan yang juga tidak kalah pentingnya, yakni bulan Rajab dan Sya'ban. Dalam hadits di atas beliau SAW memohon kepada Allah seraya mengajak umatnya, untuk diberikan keberkahan yang optimal dengan melakukan pelatihan amal sholeh dalam dua bulan itu.

Nah, bagi kita muslim yang rindu kebaikan, pahala, surga dan dilanjutkan dengan panen pahala pasti sudah memulai berbagai training-training amalan sholeh. Dan itulah nanti yang akan menjadi keberkahan tersendiri bagi kita.

Bentuknya pun bermacam-macam. Seperti misalnya, membayar 'hutang' shaum bagi yang pernah uzur meninggalkan shaumnya pada Ramadhan yang lalu, mempersiapkan tilawah al-Qur'annya bagi yang masih gagap dan kurang lancar. Sudah barang tentu setiap muslim yang merindukan taqorrub di Ramadhan kelak, sedari sekarang sudah mempersiapkan tilawah hariannya. Tahsin, Tafhim dan Tadabburpun tidak luput dari perhatiannya. Ini sangat penting. Mana mungkin kita meneriakkan hadits di atas lantas diri kita kurang memberikan perhatian kepada al-Qur'an yang merupakan amalan utama di bulan mulia itu?!

Amalan sholeh lain yang bisa kita persiapkan adalah shaum itu sendiri. Seperti shaum Ayyamul Bidh / hari-hari putih (3 hari setiap bulan pada tanggal 13, 14 dan 15 H), shaum Senin-Kamis, shaum nabi Daud (puasa selingan / satu hari puasa dan satu hari tidak), lalu berlatih infak, shodaqoh, zakat di bulan Rajab dan Sya'ban.

2. Sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan.

Inilah harapan besar kita setelah meminta permohonan diberkahi di bulan Rajab dan Sya'ban. Kita meminta dipertemukan dengan Ramadhan untuk melakukan amal shaleh  sebanyak-banyak, beribadah dan tentunya lagi pahala yang ghairu mamnun (tanpa putus).

Jadi, sebelum berfastabiqul khoirot di bulan suci nanti, kita sudah 'memulai' suasana Ramadhan terlebih dahulu sebagai semua pelatihan untuk membiasakan diri, warming up, dan berbekal dengan beragam ibadah. Baik itu ibadah mahdoh, ibadah fisik, ibadah maliyyah, ibadah fikriyah dan ibadah ijtima'iyyah. Begitu banyak yang harus didapatkan nanti. Sebagai muslim sejati yang tentu tidak akan menyia-nyiakannya, maka strategi melakukan amal sholeh itu harus diketahui. Menurut fikih awlawiyyat; sebuah amalan itu akan terhitung lebih besar pahalanya daripada amalan yang lainnya apabila ia memenuhi tuntutan situasi dan kondisi. Misalnya, apabila kondisi Ramadhan menuntut seseorang untuk berjihad, maka jihad adalah amalan utamanya, seperti di masa Rasulullah saw dahulu. Jika situasi dan kondisinya menuntut seseorang untuk membantu meringankan beban orang lain yang emergency, maka itulah amalan utamanya. Dan lain sebagainya. Namun, bukan berarti amalan yang sifatnya sosial itu justru mengendurkan perhatian kita kepada amalan yang sifatnya pribadi. Karena sangat mustahil diri kita bisa melakukan amalan sosial apabila kita tidak memiliki kekuatan ruhiyyah yang diperoleh dari dalam diri kita. Dan itu hanya dilakukan dengan cara men-charge ruhiyyah kita.

Insya Allah dengan memahami tarhib Ramadhan versi hadits di atas, kita bisa mengoptimalkan puasa dan melakukan amal sholeh di bulan suci itu. Sehingga amalan shaum di bulan Ramadhan menjadi mukaffirotun lizzunub (penghapus dosa-dosa) kita yang telah lalu.

Tidak usahlah kita seperti para sahabatnya yang memiliki ihtimam (perhatian) yang begitu besar untuk Ramadhan dan ruhiyyah yang tinggi kepada Allah, dengan mempersiapkan diri 6 bulan sebelum Ramadhan tiba dan menangis ketika Ramadhan pergi. Tapi kita cukup mengamalkan hadits Tarhib tersebut di atas untuk mempersiapkan diri.

Mengenai prioritas melakukan amal sholeh di bulan Ramadhan kita bisa baca kembali buku-buku yang mengulas tentang Ramadhan dengan segala fadhilahnya.

Semoga kita bisa memanfaatkan bulan Rajab dan Sya'ban ini sebagai proses pelatihan dan training kebaikan sampai menjelang bulan yang kita nanti-nantikan itu, dengan perasaan bahwa Ramadhan itu sudah dekat dengan kita sehingga menjadikan kita lebih dekat lagi kepada Allah swt.

Kalaupun takdir Allah 'berkata lain' kepada diri kita, Insya Allah ajang pelatihan itu akan menjadi saksi bahwa kita benar-benar mencintai Ramadhan dengan ibadah, meski akhirnya itu akan menjadi pertemuan terakhir kita dengannya.

"Sampaikanlah kami (Ya Allah) ke bulan Ramadhan". Amiin

Wallahu a'lam bish-showab

Senin, 14 Juni 2010 Hidayatullah