Agustus 18, 2012

18 Agustus 1945, Sehari Pasca Proklamasi, Umat Islam Dikhianati

http://salam-online.com/2012/08/18-agustus-1945-sehari-pasca-proklamasi-umat-islam-dikhianati.html

Agustus 15, 2012

Kisah Nyata...

Pagi itu seorang pria menjalani rutinitasnya seperti biasa. Sebagai seseorang yang mempunyai relasi luas
dan sibuk, ia selalu menyempatkan diri untuk membaca kolom pengumuman termasuk juga kolom berita kematian. Tiba-tiba matanya membaca sebuah berita, berita yang sangat mengejutkan dan membuat bulu kuduknya merinding. Ia sedang membaca berita kematiannya sendiri.
Pria ini terhenyak, ia lalu bertanya kepada dirinya sendiri, apakah ia masih hidup? Apakah saat ini ia ada
di dunia atau di alam baka? Saat ia menyadari bahwa ada sebuah kesalahan dalam berita ini, mungkin karena memiliki nama yang sama, pastilah redaksi koran ini telah melakukan kesalahan.
Namun karena rasa penasaran ia pun melanjutkan membaca berita tersebut. Ia ingin tahu apa tanggapan orang mengenai dirinya.
Dalam artikel itu ia disebut dengan panggilan 'raja dinamit' telah wafat. Pada bagian lain ia juga disebut
sebagai 'partner dewa kematian'. Ia terkejut bukan kepalang, apakah seperti ini dirinya akan dikenang oleh orang-orang? Kejadian ini membuka pikirannya, ia lalu memutuskan bahwa ia tidak ingin dikenang seperti itu. Ia bertekad mulai saat itu juga ia akan berjuang demi kedamaian dan kemanusiaan.
Begitulah akhirnya, pria yang bernama Alfred Nobel ini dengan tekadnya ia berusaha hingga pada akhirnya namanya diabadikan dalam hadiah perdamaian--yaitu Nobel Prizes.
Bagaimana dengan Anda? Seperti apa Anda ingin dikenang oleh orang-orang yang Anda tinggalkan? Warisan apa yang akan Anda sumbangsihkan demi mashlahat umat banyak? Apakah orang-orang akan mengingat Anda dengan penuh cinta dan rasa hormat?
Mari kita bersegera lakukan sebanyak kebaikan, mulai hari ini, detik ini,  saat ini juga.

Agustus 13, 2012

Bunga? Ribakah?
 
A.     Pengertian Bunga dan Riba
1.       Bunga
Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is "A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned". (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA).
Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal. 
               2.           Riba
Secara bahasa Riba (الربا) berarti Ziyadah. (زيادة) yaitu tambahan, tumbuh, tinggi dan naik .
Dimana Allah SWT berfirman :
Artinya: "Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah." (Q.S Al-Hajj : 5)
Secara Etimologi ilmu fiqih, riba yaitu: Tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua pihak yang terlibat tanpa ada imbalan tertentu. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil” (Q.S An-Nisa : 29).
Dalam kaitannya dengan ayat tersebut diatas mengenai makna al-bathil, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan: bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (Ziyadah), namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang  yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya:
1.      Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari:
Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”
2.      Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi:
Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
3.      Imam An Nawawi dari mazhab Syafi’i:
“Salah satu bentuk riba yang dilarang Al Qur’an dan As Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
Ja’far Ash Shadiq dari kalangan Syiah:
Ja’far Ash Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah I mengharamkan riba – “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”
4.      Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali
Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab: Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas pe-nambahan waktu yang diberikan.”
B.     Jenis-Jenis Riba
Al-Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba Al-Fadhl dan riba An-Nasa’. Sedangkan Imam As-Syafi’i membaginya menjadi tiga, yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa’ dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash Al Qur’an dan hadits Nabi”
Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan Riba Nasi’ah.
1.      Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2.    Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3.    Riba Fadhl
Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan “barang ribawi”. Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandung, terigu, kurma dan garam saja. Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).
Di luar keenam jenis barang itu tentu boleh terjadi penukaran barang sejenis dengan kadar dan kualitas yang berbeda. Apalagi bila barang itu berlainan jenisnya. Tentu lebih boleh lagi.
Ø Emas : Barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Ø Perak : Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak 200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Ø Gandum : Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Ø  Terigu : Demikian juga barter terigu dengan terigu hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Ø Kurma : Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Ø Garam
4.    Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah disebut juga riba Jahiliyah. Nasi’ah bersal dari kata nasa’ yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Contoh : Ahmad ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar 144 juta dengan bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.
C.     Riba Menurut Agama-Agama
1.         Konsep Bunga di Kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang umatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan:
Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Ø  Pinjaman biasa (6 % – 18%)
Ø  Pinjaman properti (6 % – 12 %)
Ø  Pinjaman antarkota (7% – 12%)
Ø  Pinjaman perdagangan dan industri (12% – 18%)
Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (maximum legal rate).  Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu:
Ø  Bunga maksimal yang dibenarkan (8 – 12%)
Ø  Bunga pinjaman biasa di Roma (4 – 12%)
Ø  Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma) (6 – 100%)
Ø  Bunga khusus Byzantium (4 – 12 %)
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka,  Plato (427 – 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktik bunga.  Begitu juga dengan Cato (234 – 149 SM) dan Cicero (106 – 43 SM).  Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga.
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Sedangkan Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
Penolakan para ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai  alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahli filsafat Yunani. Cicero memberi nasihat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yakni memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Cato memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan memberi pinjaman.
                              i.     Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.
                            ii.     Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.
Ringkasnya, para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh masyarakat umum pada waktu itu. Kenyataan bahwa bunga merupakan praktik yang tidak sehat dalam masyarakat merupakan akar kelahiran pandangan tersebut.
2.      Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I – XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen.
St. Gregory dari Nyssa (335 – 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir).
St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena keduanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
1.      Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. Barang siapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
2.      Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
3.      First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
4.      Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
3.      Larangan Riba Dalam Islam
Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya umat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah.
a.      Larangan Riba dalam Al Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah . sebagaimana firman-Nya :
Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Sebagaimana firman-Nya :
Artinya: Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi  jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.
Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Sebagaimana firman-Nya :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami  jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan bahwa:
“Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah  bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang  juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah – seperti sediakala – tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur  Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur  Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah dan turunlah ayat di atas. Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab "jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.”
b.      Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada Al Qur’an melainkan juga Al Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al Quran, pelarangan riba dalam hadits lebih terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah masih menekankan sikap Islam yang melarang riba. “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus di-hapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya adalah:
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah e melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (H.R. Bukhari no. 2034, kitab Al Buyu).
Diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah e bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” (H.R. Muslim no. 2971, dalam kitab Al Masaqqah)
Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (H.R. Muslim no. 2995, kitab Al Masaqqah).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah e berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.
“Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya
Adapun pendapat ulama mengenai hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan penting kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkaitan dengan riba dan pembungaan uang.
1.      Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989).
Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan :
a.       Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur¡¦an dan As Sunnah.
b.      Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
c.       Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
d.      Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk meng-usahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah Islam.
Penjelasan keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan misi yang diemban sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).
2.      Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini :
a.       Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut rente.
b.      Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c.       Syubhat: (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
3.      Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta Sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu :
a.       Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
b.      Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
Hasil kesepakatan inilah yang melatar-belakangi didiri-kannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
4.      Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5.      Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al Azhar, Cairo, pada bulan Muharram 1385 H./ Mei 1965, ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara ulama-ulama besar yang hadir pada saat itu antara lain, Syeikh al Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya.
D.    Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta meng-haramkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
Bunga
Bagi Hasil
a.
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
a.
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
b.
Besarnya persentase berda-sarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
b.
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c.
Pembayaran bunga tetap se-perti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
c.
Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang di-jalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi se-dang “booming”.
d.
Jumlah pembagian laba me-ningkat sesuai dengan pe-ningkatan jumlah penda-patan.
e.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
e.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
E.     Dampak Riba Terhadap Masyarakat
Allah Berfirman:
Artinya: “dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Menurut pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada intelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas.
Pandangan umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39, “ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39).
Ayat ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan Al-quran ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang, karena riba secara empiris telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian, khususnya bila ditinjau dari perspektif makro
Harus dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut dalam konteks ekonomi makro, bukan ”hanya” ekonomi mikro. Bahkan sisi ekonomi makro jauh lebih besar. Kesalahan umat Islam selama ini adalah membahas riba dalam konteks ekonomi mikro semata.
Membicarakan riba dalam konteks teori ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.
Padahal dalam ayat, Al-Quran menyoroti praktek riba yang telah sistemik, yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen ekonomi, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem ekonomi kapitalisme.Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.
Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.
1.      Dampak Ekonomi
Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang  diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan  karena salah satu elemen dan penentuan harga adalah suku bunga.  Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat  penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan  peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila  bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah  hutang negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada  akhirnya negara-negara penghutang harus berhutang lagi untuk  membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus-  menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan  struktural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.
Selain itu, Diwany (2005) menyatakan bahwa sistem keuangan yang diterapkan di dunia saat ini yang didasarkan pada bunga (riba) bertentangan dengan konsep “entropi”. Entropi menggambarkan tingkat ketidakteraturan dalam suatu sistem fisika, dan secara alamiah laju peningkatan level ketidakteraturan atau entropi akan menurun dari waktu ke waktu. Sistem keuangan saat ini yang menerapkan bunga (interest) menurut Diwany menyebabkan laju penurunan ketidakteraturan yang semakin tingi dari waktu kewaktu. Diwany menjelaskan bagaimana kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat pembukaan lahan pertanian dengan dana pinjaman yang didasarkan bunga.
Berdasarkan analisis Michael Lipton tahun 1992 (dalam Diwany. 2005) menyimpulkan bahwa, semakin tinggi suku bunga maka semakin rendah insentif untuk menerapkan teknik pertanian yang memperhatikan konservasi lingkungan. Selanjutnya Lipton menjelaskan bahwa peningkatan suku bunga secara dramatis pada tahun 1977 – 1979 dan bertahan sampai sekarang, telah  meningkatkan insentif dalam kalangan rumah tangga, lingkungan bisnis dan pemerintah untuk menghabiskan sumber-sumber daya alam sekarang serta mengabaikan akibat yang ditimbulkannya di masa yang akan datang. Dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa makin tinggi suku bunga maka makin besar kemungkinan rusaknya lingkungan dan akan semakin besar sumber daya yang dikuras, akibatnya akan semakin cepat bumi ini hancur.
Fakta lain dari bunga (interest) atau “riba” menunjukkan bahwa tidak saja membuat orang miskin tetapi juga membuat banyak negara (berkembang) makin miskin dan makin besar hutangnya. Hutang negara berkembang lebih dari tiga trillion US dollars dan masih terus tumbuh. Hasilnya adalah setiap laki-laki, wanita dan anak-anak di negara berkembang (80% dari populasi dunia) memiliki hutang $600  atau sekitar Rp 5,6 juta, (kurs 1 $=Rp9500), dimana pendapatan rata-rata masyarakat pada negara yang paling miskin kurang dari satu dollar per hari.
Selain itu, sistem bunga dalam sektor keuangan telah menimbulkan krisis ekonomi. Sepanjang abad 20, (Roy Davies dan Glyn Davies. 1996) dalam buku mereka a history of money from ancient times to the present day, menyatakan bahwa telah terjadi lebih dari 20 krisis (kesemuanya merupakan krisis sektor keuangan). Pasar finansial menjadikan dunia ini melengkung, sehingga kita tidak bisa melihat apa yang ada dibalik kaki langit. Pasar finansial selalu dipenuhi oleh informasi yang tidak pasti dan tidak lengkap, tidak transfaran. Itulah sebabnya menurut Smick, krisis keuangan yang terjadi pata tahun 2007 – 2008 masih merupakan krisis awal. Ini berarti bahwa krisis-krisis lain akan terus bermunculan dan waktu terjadinya dari krisis satu ke krisis lain semakin singkat.
Berdasarkan fakta yang ada, ternyata negara yang ekonominya tidak terpengaruh secara signifikan terhadap krisis ekonomi global yang terjadi akhir 2008 adalah negara-negara yang tidak berhubungan dengan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan yang ada di Amerika Serikat. Dan dari perkiraan ternyata juga bahwa, negara yang berbasis komoditi (bukan keuangan/financial seperti AS) telah mengalami pemulihan ekonomi dari krisis global lebih dulu dibandingkan dengan negara-negara yang berbasis pada sektor keuangan. Hal ini diungkapkan oleh Norbert Walter (Rini, 2009) bahwa,  menurut Norbert Walter, Indonesia akan keluar dari kriris ekonomi lebih awal karena, ekonomi Indonesia berbasis pada komoditi yang secara pasti tidak tergantung pada tingkat bunga (interest)
Fakta lain menunjukkan bahwa sektor keuangan yang menggunakan sistem non riba ternyata lebih mampu bertahan dari krisis keuangan. Lihat saja bank-bank Islam di Malaysia, Indonesia, Arab Saudi, ternyata tidak terpengaruh dengan krisis keuangan yang terjadi akhir-akhir ini. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa sistem keuangan yang didasarkan riba atau bunga sudah pasti sudah tidak bisa diandalkan di masa datang.
2.      Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para  pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain  agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen  lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa  yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu  nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen?  Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa  memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa  berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan  menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang  yang dikelola pasti untung.
3.      Bunga dan Egoisme Moral-Spiritual
Maulana Maududi dalam bukunya Riba menjelaskan bahwa institusi bunga merupakan sumber bahaya dan kejahatan melalui pengaruhnya terhadap  karakter manusia. Di antaranya, bunga menimbulkan perasaan cinta  terhadap uang dan hasrat untuk mengumpulkan harta bagi  kepentingannya sendiri, tanpa mengindahkan peraturan dan peringatan  Allah.  Bunga, disebut Maududi, menumbuhkan sikap egois, bakhil, berwawasan  sempit, serta berhati batu. Seorang yang membungakan uangnya akan  cenderung bersikap tidak mengenal belas kasihan.
a.       Hal ini terbukti bila si peminjam dalam kesulitan, maka asset apa  pun yang ada harus diserahkan untuk melunasi akumulasi bunga yang  sudah berbunga lagi. la juga akan terdorong untuk bersikap tamak,  menjadi seorang pencemburu terhadap milik orang lain, serta  cenderung menjadi seorang kikir.
b.      Secara psikologis, praktek pembungaan uang juga dapat menjadikan  seseorang malas untuk menginvestasikan dananya dalam sektor usaha.  Hal ini terbukti pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia baru-  baru ini. Orang yang memiliki dana lebih baik tidur di rumah sambil  menanti kucuran bunga pada akhir bulan, karena menurutnya sekalipun  ia tidur uangnya bekerja dengan kecepatan 60 % hingga 70 % per tahun.
c.       Hidup dalam sistem ribawi
4.      Bunga dan Kepongahan Sosial-Budaya
Secara sosial, institusi bunga merusak semangat berkhidmad kepada  masyarakat. Orang akan enggan berbuat apa pun kecuali yang memberi keuntungan bagi diri sendiri. Keperluan seseorang dianggap merupakan  peluang bagi orang lain untuk meraup keuntungan. Kepentingan orang-  orang kaya dianggap bertentangan dengan kepentingan orang-orang  miskin. Masyarakat demikian tidak akan mencapai solidaritas dan  kepentingan bersama untuk menggapai keberhasilan dan kesejahteraan.  Cepat atau lambat, masyarakat demikian akan mengalami perpecahan.
Dalam kancah hubungan Internasional, bunga telah meretakkan  solidaritas antarbangsa. Pada masa Perang Dunia II, Inggris meminta  para sekutu perangnya yang lebih kaya untuk membantu keuangannya  tanpa bunga. Amerika Serikat menolak memberi pinjaman tanpa tambahan  bunga, dan karenanya Inggris terpaksa menyetujui persyaratan  perjanjian pinjaman yang dikenal sebagai Brettonwood Agreement.
Desakan kebutuhan peperangan membuat Inggris terpaksa menyetujui  persyaratan kontrak pinjaman tersebut. Meskipun demikian, Inggris  memendam perasaan marah dan sedih yang sangat mendalam. Hal tersebut  tercermin dari tulisan-tulisan John Maynard Keynes, Churchil, dan  Dr. Dalton. Churchil menyebut perjanjian itu sebuah perlakuan dagang  dan Dr. Dalton menyatakannya dalam Sidang Parlemen, "Kita telah memohon pinjaman tanpa bunga, tetapi kita diberi jawaban bahwa  pinjaman itu bukan politik praktis."
5.      Bunga dan Kedzaliman Ekonomi
Ada berbagai macam jenis pinjaman sesuai dengan sifat pinjaman dan  keperluan si peminjam. Bunga dibayarkan untuk berbagai jenis hutang  tersebut.
6.      Pinjaman Kaum Dhu'afa
Sebagian besar kaum dhu'afa mengambil pinjaman untuk memenuhi  kebutuhan sehari hari. Sebagian pendapatan mereka pun diambil alih  oleh para pemilik modal dalam bentuk bunga.  Jutaan manusia di negara-negara berkembang menggunakan seluruh  hidupnya untuk membayar hutang yang diwariskan kepada mereka. Upah  dan gaji mereka umumnya sangat rendah. Pemotongan untuk membayar  bunga membuat upah mereka yang tersisa menjadi sangat sedikit, dan  memaksa mereka hidup di bawah standar normal.
Pembayaran angsuran bunga yang berat secara terus-menerus terbukti  telah merendahkan standar kehidupan masyarakat serta menghancurkan  pendidikan anak-anak mereka. Di samping itu, kecemasan terus-menerus  peminjam juga mempengaruhi efisiensi kerja mereka. Hal tersebut  bukan hanya mempengaruhi kehidupan pribadi dan keluarga peminjam, namun juga memperlemah perekonomian negara.  Pembayaran bunga juga menurunkan daya beli di kalangan mereka.  Akibatnya, industri yang memenuhi produk untuk golongan miskin dan  menengah akan mengalami penurunan permintaan. Bila keadaan tersebut  terus berlanjut, secara berangsur-angsur tapi pasti, sektor industri  pun akan merosot.
7.      Monopoli Sumber Dana
Pinjaman modal kerja biasanya diajukan oleh para pedagang,  pengrajin, dan para petani untuk tujuan-tujuan yang produktif.  Namun, upaya mereka untuk dapat lebih produktif tersebut sering  terhambat atau malah hancur karena penguasaan modal oleh para  kapitalis.
a.       Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pengusaha besar dan  konglomerat yang dekat dengan sumber kekuasaan memiliki akses yang  kuat terhadap sumber dana. Manuver-manuver pengusaha besar ini  seringkali mengorbankan kepentingan pengusaha dan pengerajin kecil.  Di samping tingkat suku bunga yang lebih besar untuk pengusaha  kecil, tidak jarang konglomerat juga mengambil jatah dan alokasi  kredit si kecil.
b.      Modal tidak diinvestasikan pada berbagai usaha yang penting dan  bermanfaat bagi masyarakat melainkan lebih banyak digunakan untuk  usaha-usaha spekulatif yang seringkali membuat keguncangan pasar  modal dan ekonomi.
c.       Kehancuran sektor swasta di Indonesia dalam krisis ekonomi pada  akhir tahun 1990-an antara lain disebabkan melonjaknya beban bunga  tersebut. Struktur bunga tetap untuk jangka panjang pun dapat  menghancurkan perusahaan yang tengah berkembang bila keuntungan yang  diperolehnya tak cukup untuk menutupi beban bunga tersebut.
F.     Solusi Penaggulangan Riba
Riba diharamkan dalam setiap transaksi maupun aktivitas ekonomi dalam sistem ekonomi Islam. Dari fakta-fakat yang telah dijelaskan di atas telah terbukti baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun bukti-bukti empiris bahwa dengan menerapkan riba dalam aktivitas ekonomi telah menimbulkan kehancuran ekonomi, kemiskinan, inflasi, krisis ekonomi dan perusakan lingkungan. Karena itu aktivitas ekonomi yang dilandaskan pada prinsip bunga atau riba perlu dihilangkan. Untuk menghilangkan praktek riba dalam aktivitas ekonomi maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1)      Optimalisasi Sosialisasi sistem ekonomi Islam dan tingginya daya rusak riba dalam kehidupan ekonomi.
2)      Adanya kemauan politik (politic will) dari pemerintah untuk menerapkan sistem ekonomi Islam.
3)      Memperbanyak dan mempermudah pembentukan lembaga keuangan non riba ( Bank Islam, BPR Islami, BMT dll).
4)      Perlu dilakukan proyek-proyek percontohan dalam bentuk Desa/Kecamatan Syariah.
5)      Memberikan bantuan modal bagi masyarakat dengan sistem bagi hasil.