Agustus 18, 2012
Agustus 15, 2012
Kisah Nyata...
Pagi itu seorang pria menjalani rutinitasnya seperti biasa. Sebagai seseorang yang mempunyai relasi luasdan sibuk, ia selalu menyempatkan diri untuk membaca kolom pengumuman termasuk juga kolom berita kematian. Tiba-tiba matanya membaca sebuah berita, berita yang sangat mengejutkan dan membuat bulu kuduknya merinding. Ia sedang membaca berita kematiannya sendiri.
Pria ini terhenyak, ia lalu bertanya kepada dirinya sendiri, apakah ia masih hidup? Apakah saat ini ia ada
di dunia atau di alam baka? Saat ia menyadari bahwa ada sebuah kesalahan dalam berita ini, mungkin karena memiliki nama yang sama, pastilah redaksi koran ini telah melakukan kesalahan.
Namun karena rasa penasaran ia pun melanjutkan membaca berita tersebut. Ia ingin tahu apa tanggapan orang mengenai dirinya.
Dalam artikel itu ia disebut dengan panggilan 'raja dinamit' telah wafat. Pada bagian lain ia juga disebut
sebagai 'partner dewa kematian'. Ia terkejut bukan kepalang, apakah seperti ini dirinya akan dikenang oleh orang-orang? Kejadian ini membuka pikirannya, ia lalu memutuskan bahwa ia tidak ingin dikenang seperti itu. Ia bertekad mulai saat itu juga ia akan berjuang demi kedamaian dan kemanusiaan.
Begitulah akhirnya, pria yang bernama Alfred Nobel ini dengan tekadnya ia berusaha hingga pada akhirnya namanya diabadikan dalam hadiah perdamaian--yaitu Nobel Prizes.
Bagaimana dengan Anda? Seperti apa Anda ingin dikenang oleh orang-orang yang Anda tinggalkan? Warisan apa yang akan Anda sumbangsihkan demi mashlahat umat banyak? Apakah orang-orang akan mengingat Anda dengan penuh cinta dan rasa hormat?
Mari kita bersegera lakukan sebanyak kebaikan, mulai hari ini, detik ini, saat ini juga.
Agustus 13, 2012
Bunga? Ribakah?
1. Bunga
Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is "A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned". (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA).
Bunga
adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah
tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal
yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
2. Riba
Secara bahasa Riba (الربا) berarti Ziyadah. (زيادة) yaitu tambahan, tumbuh, tinggi dan naik .
Dimana Allah SWT berfirman :
Artinya: "Dan
kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah." (Q.S Al-Hajj : 5)
Secara
Etimologi ilmu fiqih, riba yaitu: Tambahan khusus yang dimiliki salah
satu dari dua pihak yang terlibat tanpa ada imbalan tertentu. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara
bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil” (Q.S An-Nisa : 29).
Dalam
kaitannya dengan ayat tersebut diatas mengenai makna al-bathil, Ibnu
Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an, menjelaskan: bahwa
pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (Ziyadah), namun yang
dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil
tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan
syariah”
Yang
dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi
bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut
secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil
proyek.
Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah. Di antaranya:
1. Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari:
“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”
2. Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi:
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
“Salah satu bentuk riba yang dilarang Al Qur’an dan As Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.
Ja’far Ash Shadiq dari kalangan Syiah:
Ja’far Ash Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah I mengharamkan riba – “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”
4. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali
“Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab: Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas pe-nambahan waktu yang diberikan.”
B. Jenis-Jenis Riba
Al-Hanafi
mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba Al-Fadhl dan
riba An-Nasa’. Sedangkan Imam As-Syafi’i membaginya menjadi tiga, yaitu
riba Al-Fadhl, riba An-Nasa’ dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally
menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini
diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash Al Qur’an dan hadits Nabi”
Secara
garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang
dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan
riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi
menjadi riba fadhl dan Riba Nasi’ah.
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba Fadhl
Riba
fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar
benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis
barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang
yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis
barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan “barang
ribawi”. Harta yang dapat mengandung riba sebagaimana disebutkan dalam
hadits nabawi, hanya terbatas pada emas, perak, gandung, terigu, kurma
dan garam saja. Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama
beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu
tetapi harus tunai (HR Muslim).
Di
luar keenam jenis barang itu tentu boleh terjadi penukaran barang
sejenis dengan kadar dan kualitas yang berbeda. Apalagi bila barang itu
berlainan jenisnya. Tentu lebih boleh lagi.
Ø Emas
: Barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya
berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung
dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih
dahulu masing-masing benda itu.
Ø Perak
: Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya
berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh
ditukar langsung dengan perak 200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali
setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Ø Gandum
: Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya
berbeda. Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar
langsung dengan 150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah
dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu
Ø Terigu
: Demikian juga barter terigu dengan terigu hukumnya haram, bila kadar
dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak
boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali
setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.
Ø Kurma
: Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya
berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak boleh ditukar
langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikan
terlebih dahulu masing-masing benda itu
Ø Garam
4. Riba Nasi’ah
Riba
Nasi’ah disebut juga riba Jahiliyah. Nasi’ah bersal dari kata nasa’
yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya
penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa
sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak
lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya
pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara
yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Contoh : Ahmad
ingin membangun rumah. Untuk itu dia pinjam uang kepada bank sebesar
144 juta dengan bunga 13 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini,
yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka
transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat
Islam.
C. Riba Menurut Agama-Agama
1. Konsep Bunga di Kalangan Yahudi
Orang-orang
Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak
terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian
Lama) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat
25 menyatakan:
“Jika
engkau meminjamkan uang kapada salah seorang umatku, orang yang miskin
di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang
terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan:
“Janganlah
engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus
takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah
engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Konsep
Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi Pada masa Yunani, sekitar abad VI
Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga.
Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum,
nilai bunga tersebut dikategorikan sebagai berikut:
Ø Pinjaman biasa (6 % – 18%)
Ø Pinjaman properti (6 % – 12 %)
Ø Pinjaman antarkota (7% – 12%)
Ø Pinjaman perdagangan dan industri (12% – 18%)
Pada
masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat
undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama
tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan
hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai
dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan
bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga
(double countable).
Pada
masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak
diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut
diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga
pada zaman Romawi yaitu:
Ø Bunga maksimal yang dibenarkan (8 – 12%)
Ø Bunga pinjaman biasa di Roma (4 – 12%)
Ø Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma) (6 – 100%)
Ø Bunga khusus Byzantium (4 – 12 %)
Meskipun
demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua
orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 – 347 SM) dan
Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktik bunga. Begitu juga dengan
Cato (234 – 149 SM) dan Cicero (106 – 43 SM). Para ahli filsafat
tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan
bunga.
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin.
Sedangkan Aristoteles,
dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah
sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang
bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut
bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari
sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan
bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
Penolakan
para ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai
alasan yang kurang lebih sama dengan yang dikemukakan ahli filsafat
Yunani. Cicero memberi nasihat kepada anaknya agar menjauhi dua
pekerjaan, yakni memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Cato
memberikan dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan
dan memberi pinjaman.
i. Perniagaan
adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko sedangkan memberi pinjaman
dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.
ii. Dalam
tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dengan
seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan
pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.
Ringkasnya,
para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa bunga adalah
sesuatu yang hina dan keji. Pandangan demikian itu juga dianut oleh
masyarakat umum pada waktu itu. Kenyataan bahwa bunga merupakan praktik
yang tidak sehat dalam masyarakat merupakan akar kelahiran pandangan
tersebut.
2. Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab
Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun,
sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam
Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat
tersebut menyatakan :
“Dan
jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap
akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa
pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali
sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka
dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar
dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha tinggi, sebab Ia baik
terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap
orang-orang jahat.”
Ketidaktegasan
ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran
dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen
mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka
agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu
pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang
mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang
berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis
Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen
menghalalkan bunga. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I – XII)
Pada
masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah
pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh
orang Kristen.
St.
Gregory dari Nyssa (335 – 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya
pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti
membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak
sangat kejam. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan
pembelit (rentenir).
St.
Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam
dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena keduanya
sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang
miskin.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon):
1. Council
of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para
pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. Barang siapa yang
melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
2. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
3. First
Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan
memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga.
4. Larangan
pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne
(tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu
adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen
(murtad).
3. Larangan Riba Dalam Islam
Umat
Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya umat
Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat
dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah.
a. Larangan Riba dalam Al Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama,
menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau
taqarrub kepada Allah . sebagaimana firman-Nya :
Artinya: “Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Sebagaimana firman-Nya :
Artinya: “Maka
disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka
yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan
yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap ketiga,
riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan
tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan
pada masa tersebut. Allah berfirman :
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130).
Ayat
ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami
bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya
riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.
Tahap terakhir,
Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang
diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan
menyangkut riba. Sebagaimana firman-Nya :
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary meriwayatkan bahwa:
“Kaum Tsaqif,
penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah
bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang
berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja.
Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai
Gubernur Makkah yang juga
meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr
bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada
Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa
membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap
memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk
menagih hutang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah – seperti
sediakala – tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk
memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut
kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab
langsung menulis surat kepada Rasulullah dan turunlah ayat di atas.
Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab "jikalau
mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi
jikalau mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada
mereka.”
b. Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan
riba dalam Islam tak hanya merujuk pada Al Qur’an melainkan juga Al
Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan
lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al Quran, pelarangan
riba dalam hadits lebih terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9
Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah masih menekankan sikap Islam
yang melarang riba. “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia
pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil
riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus di-hapuskan. Modal (uang
pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami
ketidakadilan.”
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya adalah:
Diriwayatkan
oleh Abdurrahman bin Abu Bakr bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah e
melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama
beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga
sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (H.R. Bukhari no. 2034, kitab
Al Buyu).
Diriwayatkan
oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah e bersabda, “Emas hendaklah
dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung
dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus
dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta
tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan
pemberi sama-sama bersalah.” (H.R. Muslim no. 2971, dalam kitab Al
Masaqqah)
Jabir
berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya,
kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (H.R. Muslim no.
2995, kitab Al Masaqqah).
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah e berkata, “Pada malam perjalanan
mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di
dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya
kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah
orang-orang yang memakan riba.
“Al
Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi bersabda: “Riba itu
mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan
seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tuhan sesungguhnya
berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau
tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak,
pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak
bertanggung jawab/menelantarkan ibu bapaknya
Adapun pendapat ulama mengenai hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
Berikut
ini adalah cuplikan dari keputusan-keputusan penting kedua lembaga
ijtihad tersebut yang berkaitan dengan riba dan pembungaan uang.
1. Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis
Tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi/keuangan di
luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara
umum (1976), dan koperasi simpan-pinjam (1989).
Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan :
a. Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al Qur¡¦an dan As Sunnah.
b. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
c. Bunga
yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau
sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
d. Menyarankan
kepada PP Muhammadiyah untuk meng-usahakan terwujudnya konsepsi sistem
perekonomian, khususnya lembaga perbankan, yang sesuai dengan kaidah
Islam.
Penjelasan
keputusan ini menyebutkan bahwa bank negara, secara kepemilikan dan
misi yang diemban sangat berbeda dengan bank swasta. Tingkat suku bunga
bank pemerintah (pada saat itu) relatif lebih rendah dari suku bunga
bank swasta nasional. Meskipun demikian, kebolehan bunga bank negara ini
masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).
2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama
Mengenai
bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan masalah tersebut melalui
beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama
seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan
masalah ini :
a. Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut rente.
b. Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c. Syubhat: (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
Semua peserta Sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu :
a. Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
b. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
Hasil kesepakatan inilah yang melatar-belakangi didiri-kannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
4. Mufti Negara Mesir
Keputusan
Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap
dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989
Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk
salah satu bentuk riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama
besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah
memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II
KKID yang diselenggarakan di Universitas Al Azhar, Cairo, pada bulan
Muharram 1385 H./ Mei 1965, ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun
keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan
bank-bank konvensional. Di antara ulama-ulama besar yang hadir pada saat
itu antara lain, Syeikh al Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz,
Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama
besar dunia lainnya.
D. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta meng-haramkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
Bunga
|
Bagi Hasil
| ||
a.
|
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
|
a.
|
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
|
b.
|
Besarnya persentase berda-sarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
|
b.
|
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
|
c.
|
Pembayaran bunga tetap se-perti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
|
c.
|
Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang di-jalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
|
d.
|
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi se-dang “booming”.
|
d.
|
Jumlah pembagian laba me-ningkat sesuai dengan pe-ningkatan jumlah penda-patan.
|
e.
|
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
|
e.
|
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
|
Allah Berfirman:
Artinya: “dan
sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).
Menurut
pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat
membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan
kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi.
Keyakinan kuat itu juga terdapat pada intelektual muslim terdidik yang
tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika
para pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan
jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun
rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini
dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan
material (zahir) manusia yang seringkali terbatas.
Pandangan
umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39, “
Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar
harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah”
(QS.ar-Rum : 39).
Ayat
ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem
bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan
adil. Pandangan Al-quran ini secara selintas sangat kontras dengan
pandangan manusia kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan
sistem bunga akan meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut
Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan
berkembang, karena riba secara empiris telah menimbulkan dampak buruk
bagi perekonomian, khususnya bila ditinjau dari perspektif makro
Harus
dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut
dalam konteks ekonomi makro, bukan ”hanya” ekonomi mikro. Bahkan sisi
ekonomi makro jauh lebih besar. Kesalahan umat Islam selama ini adalah
membahas riba dalam konteks ekonomi mikro semata.
Membicarakan
riba dalam konteks teori ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba
terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu
atau perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup
mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara
debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen bunga yang
harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada
kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan
atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.
Padahal
dalam ayat, Al-Quran menyoroti praktek riba yang telah sistemik, yaitu
riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi
instrumen ekonomi, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem
ekonomi kapitalisme.Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest
rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi
dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit
system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara,
hingga perdagangan internasional.
Jika
riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian
kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi
perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat
membahayakan perekonomian.
1. Dampak Ekonomi
Di
antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan
oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah
satu elemen dan penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku
bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak
lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan
peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak
pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang
tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang negara-negara
berkembang kepada negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak,
artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara
penghutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya.
Sehingga, terjadilah hutang yang terus- menerus. Ini yang menjelaskan
proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separuh
masyarakat dunia.
Selain
itu, Diwany (2005) menyatakan bahwa sistem keuangan yang diterapkan di
dunia saat ini yang didasarkan pada bunga (riba) bertentangan dengan
konsep “entropi”. Entropi menggambarkan tingkat ketidakteraturan dalam suatu sistem fisika, dan secara alamiah laju peningkatan level ketidakteraturan atau entropi akan menurun dari waktu ke waktu. Sistem keuangan saat ini yang menerapkan bunga (interest) menurut Diwany menyebabkan laju penurunan ketidakteraturan
yang semakin tingi dari waktu kewaktu. Diwany menjelaskan bagaimana
kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat pembukaan lahan pertanian
dengan dana pinjaman yang didasarkan bunga.
Berdasarkan
analisis Michael Lipton tahun 1992 (dalam Diwany. 2005) menyimpulkan
bahwa, semakin tinggi suku bunga maka semakin rendah insentif untuk
menerapkan teknik pertanian yang memperhatikan konservasi lingkungan.
Selanjutnya Lipton menjelaskan bahwa peningkatan suku bunga secara
dramatis pada tahun 1977 – 1979 dan bertahan sampai sekarang, telah
meningkatkan insentif dalam kalangan rumah tangga, lingkungan bisnis dan
pemerintah untuk menghabiskan sumber-sumber daya alam sekarang serta
mengabaikan akibat yang ditimbulkannya di masa yang akan datang.
Dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa makin tinggi suku bunga maka
makin besar kemungkinan rusaknya lingkungan dan akan semakin besar
sumber daya yang dikuras, akibatnya akan semakin cepat bumi ini hancur.
Fakta lain dari bunga (interest)
atau “riba” menunjukkan bahwa tidak saja membuat orang miskin tetapi
juga membuat banyak negara (berkembang) makin miskin dan makin besar
hutangnya. Hutang negara berkembang lebih dari tiga trillion US dollars
dan masih terus tumbuh. Hasilnya adalah setiap laki-laki, wanita dan
anak-anak di negara berkembang (80% dari populasi dunia) memiliki hutang
$600 atau sekitar Rp 5,6 juta, (kurs 1 $=Rp9500), dimana pendapatan
rata-rata masyarakat pada negara yang paling miskin kurang dari satu
dollar per hari.
Selain
itu, sistem bunga dalam sektor keuangan telah menimbulkan krisis
ekonomi. Sepanjang abad 20, (Roy Davies dan Glyn Davies. 1996) dalam
buku mereka a history of money from ancient times to the present day,
menyatakan bahwa telah terjadi lebih dari 20 krisis (kesemuanya
merupakan krisis sektor keuangan). Pasar finansial menjadikan dunia ini
melengkung, sehingga kita tidak bisa melihat apa yang ada dibalik kaki
langit. Pasar finansial selalu dipenuhi oleh informasi yang tidak pasti
dan tidak lengkap, tidak transfaran.
Itulah sebabnya menurut Smick, krisis keuangan yang terjadi pata tahun
2007 – 2008 masih merupakan krisis awal. Ini berarti bahwa krisis-krisis
lain akan terus bermunculan dan waktu terjadinya dari krisis satu ke
krisis lain semakin singkat.
Berdasarkan
fakta yang ada, ternyata negara yang ekonominya tidak terpengaruh
secara signifikan terhadap krisis ekonomi global yang terjadi akhir 2008
adalah negara-negara yang tidak berhubungan dengan perusahaan yang
mengalami kesulitan keuangan yang ada di Amerika Serikat. Dan dari
perkiraan ternyata juga bahwa, negara yang berbasis komoditi (bukan
keuangan/financial seperti AS) telah mengalami pemulihan ekonomi dari
krisis global lebih dulu dibandingkan dengan negara-negara yang berbasis
pada sektor keuangan. Hal ini diungkapkan oleh Norbert Walter (Rini,
2009) bahwa, menurut Norbert Walter, Indonesia akan keluar dari kriris
ekonomi lebih awal karena, ekonomi Indonesia berbasis pada komoditi yang
secara pasti tidak tergantung pada tingkat bunga (interest)
Fakta
lain menunjukkan bahwa sektor keuangan yang menggunakan sistem non riba
ternyata lebih mampu bertahan dari krisis keuangan. Lihat saja
bank-bank Islam di Malaysia, Indonesia, Arab Saudi, ternyata tidak
terpengaruh dengan krisis keuangan yang terjadi akhir-akhir ini.
Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa sistem keuangan yang didasarkan riba
atau bunga sudah pasti sudah tidak bisa diandalkan di masa datang.
2. Sosial Kemasyarakatan
Riba
merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil
riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha
dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari
jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin
bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan
keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang
beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi
besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa berusaha memiliki dua
kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang
sudah memastikan bahwa usaha yang yang dikelola pasti untung.
3. Bunga dan Egoisme Moral-Spiritual
Maulana
Maududi dalam bukunya Riba menjelaskan bahwa institusi bunga merupakan
sumber bahaya dan kejahatan melalui pengaruhnya terhadap karakter
manusia. Di antaranya, bunga menimbulkan perasaan cinta terhadap uang
dan hasrat untuk mengumpulkan harta bagi kepentingannya sendiri, tanpa
mengindahkan peraturan dan peringatan Allah. Bunga, disebut Maududi,
menumbuhkan sikap egois, bakhil, berwawasan sempit, serta berhati batu.
Seorang yang membungakan uangnya akan cenderung bersikap tidak
mengenal belas kasihan.
a. Hal
ini terbukti bila si peminjam dalam kesulitan, maka asset apa pun yang
ada harus diserahkan untuk melunasi akumulasi bunga yang sudah
berbunga lagi. la juga akan terdorong untuk bersikap tamak, menjadi
seorang pencemburu terhadap milik orang lain, serta cenderung menjadi
seorang kikir.
b. Secara
psikologis, praktek pembungaan uang juga dapat menjadikan seseorang
malas untuk menginvestasikan dananya dalam sektor usaha. Hal ini
terbukti pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia baru- baru ini.
Orang yang memiliki dana lebih baik tidur di rumah sambil menanti
kucuran bunga pada akhir bulan, karena menurutnya sekalipun ia tidur
uangnya bekerja dengan kecepatan 60 % hingga 70 % per tahun.
c. Hidup dalam sistem ribawi
4. Bunga dan Kepongahan Sosial-Budaya
Secara
sosial, institusi bunga merusak semangat berkhidmad kepada masyarakat.
Orang akan enggan berbuat apa pun kecuali yang memberi keuntungan bagi
diri sendiri. Keperluan seseorang dianggap merupakan peluang bagi orang
lain untuk meraup keuntungan. Kepentingan orang- orang kaya dianggap
bertentangan dengan kepentingan orang-orang miskin. Masyarakat demikian
tidak akan mencapai solidaritas dan kepentingan bersama untuk
menggapai keberhasilan dan kesejahteraan. Cepat atau lambat, masyarakat
demikian akan mengalami perpecahan.
Dalam
kancah hubungan Internasional, bunga telah meretakkan solidaritas
antarbangsa. Pada masa Perang Dunia II, Inggris meminta para sekutu
perangnya yang lebih kaya untuk membantu keuangannya tanpa bunga.
Amerika Serikat menolak memberi pinjaman tanpa tambahan bunga, dan
karenanya Inggris terpaksa menyetujui persyaratan perjanjian pinjaman
yang dikenal sebagai Brettonwood Agreement.
Desakan
kebutuhan peperangan membuat Inggris terpaksa menyetujui persyaratan
kontrak pinjaman tersebut. Meskipun demikian, Inggris memendam perasaan
marah dan sedih yang sangat mendalam. Hal tersebut tercermin dari
tulisan-tulisan John Maynard Keynes, Churchil, dan Dr. Dalton. Churchil
menyebut perjanjian itu sebuah perlakuan dagang dan Dr. Dalton
menyatakannya dalam Sidang Parlemen, "Kita telah memohon pinjaman tanpa
bunga, tetapi kita diberi jawaban bahwa pinjaman itu bukan politik
praktis."
5. Bunga dan Kedzaliman Ekonomi
Ada
berbagai macam jenis pinjaman sesuai dengan sifat pinjaman dan
keperluan si peminjam. Bunga dibayarkan untuk berbagai jenis hutang
tersebut.
6. Pinjaman Kaum Dhu'afa
Sebagian
besar kaum dhu'afa mengambil pinjaman untuk memenuhi kebutuhan sehari
hari. Sebagian pendapatan mereka pun diambil alih oleh para pemilik
modal dalam bentuk bunga. Jutaan manusia di negara-negara berkembang
menggunakan seluruh hidupnya untuk membayar hutang yang diwariskan
kepada mereka. Upah dan gaji mereka umumnya sangat rendah. Pemotongan
untuk membayar bunga membuat upah mereka yang tersisa menjadi sangat
sedikit, dan memaksa mereka hidup di bawah standar normal.
Pembayaran
angsuran bunga yang berat secara terus-menerus terbukti telah
merendahkan standar kehidupan masyarakat serta menghancurkan pendidikan
anak-anak mereka. Di samping itu, kecemasan terus-menerus peminjam
juga mempengaruhi efisiensi kerja mereka. Hal tersebut bukan hanya
mempengaruhi kehidupan pribadi dan keluarga peminjam, namun juga
memperlemah perekonomian negara. Pembayaran bunga juga menurunkan daya
beli di kalangan mereka. Akibatnya, industri yang memenuhi produk untuk
golongan miskin dan menengah akan mengalami penurunan permintaan. Bila
keadaan tersebut terus berlanjut, secara berangsur-angsur tapi pasti,
sektor industri pun akan merosot.
7. Monopoli Sumber Dana
Pinjaman
modal kerja biasanya diajukan oleh para pedagang, pengrajin, dan para
petani untuk tujuan-tujuan yang produktif. Namun, upaya mereka untuk
dapat lebih produktif tersebut sering terhambat atau malah hancur
karena penguasaan modal oleh para kapitalis.
a. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa para pengusaha besar dan konglomerat yang
dekat dengan sumber kekuasaan memiliki akses yang kuat terhadap sumber
dana. Manuver-manuver pengusaha besar ini seringkali mengorbankan
kepentingan pengusaha dan pengerajin kecil. Di samping tingkat suku
bunga yang lebih besar untuk pengusaha kecil, tidak jarang konglomerat
juga mengambil jatah dan alokasi kredit si kecil.
b. Modal
tidak diinvestasikan pada berbagai usaha yang penting dan bermanfaat
bagi masyarakat melainkan lebih banyak digunakan untuk usaha-usaha
spekulatif yang seringkali membuat keguncangan pasar modal dan ekonomi.
c. Kehancuran
sektor swasta di Indonesia dalam krisis ekonomi pada akhir tahun
1990-an antara lain disebabkan melonjaknya beban bunga tersebut.
Struktur bunga tetap untuk jangka panjang pun dapat menghancurkan
perusahaan yang tengah berkembang bila keuntungan yang diperolehnya tak
cukup untuk menutupi beban bunga tersebut.
F. Solusi Penaggulangan Riba
Riba
diharamkan dalam setiap transaksi maupun aktivitas ekonomi dalam sistem
ekonomi Islam. Dari fakta-fakat yang telah dijelaskan di atas telah
terbukti baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun bukti-bukti empiris bahwa
dengan menerapkan riba dalam aktivitas ekonomi telah menimbulkan
kehancuran ekonomi, kemiskinan, inflasi, krisis ekonomi dan perusakan
lingkungan. Karena itu aktivitas ekonomi yang dilandaskan pada prinsip
bunga atau riba perlu dihilangkan. Untuk menghilangkan praktek riba
dalam aktivitas ekonomi maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Optimalisasi Sosialisasi sistem ekonomi Islam dan tingginya daya rusak riba dalam kehidupan ekonomi.
2) Adanya kemauan politik (politic will) dari pemerintah untuk menerapkan sistem ekonomi Islam.
3) Memperbanyak dan mempermudah pembentukan lembaga keuangan non riba ( Bank Islam, BPR Islami, BMT dll).
4) Perlu dilakukan proyek-proyek percontohan dalam bentuk Desa/Kecamatan Syariah.
5) Memberikan bantuan modal bagi masyarakat dengan sistem bagi hasil.
Langganan:
Postingan (Atom)