Agustus 27, 2012

KARAKTERISTIK PEMIKIRAN LIBERAL

Dalam sebuah operasi militer, menjadi sebuah keniscayaan untuk mengenali dengan baik siapa  musuh yang akan dihadapi. Tidak hanya nama dan bentuk wajah, akan tetapi juga pola pikir, kebiasaan, keluarga, teman dan lain sebagainya yang bisa digunakan sebagai alat identifikasi musuh. Ini dilakukan agar tidak terjadi salah tangkap, salah tembak atau yang lebih konyol lagi membahayakan pasukan sendiri karena tidak tahu kondisi musuh.
Demikian juga dalam perang pemikiran (ghozwul fikri), umat Islam harus mengetahui musuh yang dihadapi. Salah satunya adalah karakteristik pemikirannya. Pengusung dan pendukung Islam Liberal sebagai salah satu musuh umat Islam dalam ghazwul fikri, sudah tentu harus dikenal dengan baik pemikiran mereka. Tujuannya agar  umat Islam mengetahui seberapa jauh penyebaran pemikiran mereka dan paham apa yang harus dilakukan.
Tulisan ini mencoba mengungkap beberapa karakteristik para pengusung pemikiran Islam liberal, yang meliputi:
Pertama, mereka percaya pada Allah, tapi bukan Allah yang memiliki sifat-sifat yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak menyukai Allah yang menentukan mana yang baik dan yang buruk bagi manusia. Mereka juga tidak menyukai Allah yang membuat berbagai aturan bagi manusia sehingga mengurangi kebebasan manusia untuk berbuat dan berkreasi. Mereka lebih menyukai konsep Tuhan yang diambil dari akal manusia, yaitu Tuhan yang tidak mencampuri urusan individu manusia. Mereka berkeyakinan bahwa akal lah yang berhak membuat aturan bagi manusia. Akal juga yang bisa menentukan baik-buruknya manusia, tidak boleh ada yang membatasi akal, termasuk Tuhan dan agama. Karenanya mereka menyebarkan berbagai opini ke masyarakat supaya umat Islam juga menganggap bahwa akal-lah yang berhak membuat aturan hidup bagi manusia. Akal yang menentukan mana yang baik bagi manusia dan mana yang buruk bagi manusia. Di antara opini-opini itu antara lain adalah bahwa aturan yang ada di Al-qur’an, hanya untuk masa di mana al-Qur’an diturunkan. Tidak untuk zaman sekarang ini, apalagi masa depan. Karenannya, manusia dengan akalnyalah yang harus ”menafsir” ulang dan menyesuaikan al-Qur’an dengan kondisi saat ini.
Ada juga di antara mereka yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berlaku pada zaman ini adalah ayat-ayat makkiyah saja yang berisi tentang ajaran-ajaran agama secara global dan bersifat universal. Sedangkan ayat-ayat madaniya yang banyak menjelaskan tentang aturan-aturan kemasyarakatan, mereka anggap hanya berlaku untuk masyarakat di zaman itu. Karenanya mereka akan menentang penerapan perda  syari’ah karena dianggap sebagai aturan masyarakat primitif.
Ada juga di antara mereka yang mencoba membuat keraguan umat terhadap kesakralan dan keotentikan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah Swt. Diantaranya mereka mengatakan, ”Al-Qur’an merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi)”, ”Al-Qur’an adalah karangan Muhammad”, dan lain-lain. Dr. Luthfi Assyaukanie, aktivis Islam Liberal, mengejek keyakinan umat Islam terhadap al-Qur’an dengan ungkapannya sebagai berikut: ”Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdzan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum muslim juga meyakini bahwa Al-Qur’an yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam”. (lihat dalam Ijtihad Islam Liberal, 2005, hal. 1).
Di antaranya ada juga yang mengatakan bahwa mushaf utsmani yang beredar dan dibaca di kalangan umat Islam saat ini, bukanlah al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, karena saat penyusunan mushaf utsmani terdapat kepentingan-kepentingan politik dari Khalifah Utsman. Inti dari itu semua adalah supaya umat Islam ragu terhadap al-Qur’an dan tidak menjadikan Allah sebagai pembuat aturan bagi manusia. Boleh menggunakan aturan Allah, asal aturan itu sesuai dengan akal rasio manusia. Jadi bukannya akal yang mengikuti aturan Allah (al-Qur’an dan Hadits), akan tetapi aturan Allah-lah yang harus sesuai dengan akal manusia. Apabila tidak sesuai, harus dicari penafsiran-penafsiran sehingga aturan itu menjadi sesuai dengan akal rasio manusia. Sehingga muncullah hermeneutik, metode yang mereka gunakan untuk ”menafsiri” al-Qur’an supaya sesuai dengan akal rasio. Dengan hermeneutik inilah mereka ”menafsiri” ayat-ayat yang ingin mereka buat supaya sesuai dengan akal pikiran mereka.
Bila usaha aktivis Islam Liberal ini dibiarkan terus menerus dan akhirnya mempengaruhi umat, bisa jadi akan menghasilkan keadaan umat yang mirip dengan gambaran yang diberikan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang perubahan keyakinan orang Barat ketika menerima pemikiran liberal. Mereka yang sebelumnya percaya God created man, telah berubah menjadi Man created God.
Kedua, Islam liberal menganggap bahwa kebenaran Islam itu tidak absolut. Mereka menyebarkan opini bahwa kebenaran adalah bukan milik umat Islam saja, tapi semua agama sama-sama benar. Sebab sama-sama jalan menuju Tuhan yang satu.
Agama yang diridloi Allah bukan hanya agama Islam saja. Surga juga bukan hanya untuk umat Islam saja tapi juga untuk umat agama lain. Seseorang menjadi religius bukan hanya agama yang menjadi faktor utamanya. Orang kafir termasuk ateis pun bisa jadi moralis dan religius, bahkan melebihi umat Islam sehingga berhak menyandang gelar ”Nabi” dan otomatis mereka berhak mendapatkan surga. (ingat! Para Nabi Allah semuanya beragama Islam). Dengan alasan ini, Islam liberal mendorong dan mendukung kebebasan dan toleransi beragama (lihat karakteristik yang kelima)
Ketiga, mereka tidak mempertimbangkan lagi kaidah-kaidah dalam istimbatul ahkam yang disepakati para ulama. Namun kadang mereka juga mencomot kaidah-kaidah tertentu untuk mendukung pemikiran mereka. Bahkan tidak jarang mencomot suatu kaidah yang sudah populer di kalangan umat, namun maknanya sudah dibelokkan dari makna semula. Memang mereka tidak mempunyai sistem yang baku dalam pengambilan hukum (istimbatul hukm) dari nash al-Qur’an dan hadits. Jalan dan metode apapun yang mereka gunakan untuk mendapatkan produk hukum yang mereka inginkan, dan tidak terikat dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati para ulama. Itu semua mereka lakukan dalam rangka membuat ”interpretasi baru” terhadap agama. Dan interpretasi baru itu tidak mungkin mereka dapatkan apabila mereka masih menggunakan kaidah-kaidah yang disepakati oleh para ulama dalam istinbatul ahkam.  Biasanya interpretasi baru terhadap agama yang mereka inginkan adalah seputar kebenaran absolut agama Islam, gender, hak asasi manusia, dan lain-lain.
Selain itu, mereka juga ingin menghilangkan otoritas ulama dalam berijtihad, yaitu dengan menyebarkan opini agar umat Islam tidak lagi terikat dengan hasil ijtihad, fatwa dan interpretasi para ulama, karena pada dasarnya, menurut para aktivis liberal,  setiap manusia adalah ulama dan dengan akalnya masing-masing, setiap manusia bisa membuat interpretasi sendiri terhadap agama.
Keempat, mereka mendorong pemisahan negara dari agama. Agama tidak boleh masuk politik karena agama itu suci, sedang politik itu kotor. Segala sesuatu dan usaha yang dianggap akan memasukkan nilai-nilai agama dalam negara dan politik, akan mereka tolak. Tidak hanya itu saja, mereka juga berusaha membuat opini di masyarakat supaya pola pikir masyarakat sesuai dengan pola pikir mereka. Penerbitan Perda Syari’ah mereka tentang dengan alasan menyebabkan diskriminasi. Partai politik berazaskan agama pun tidak mereka setujui. Mereka berargumentasi dengan sejarah kelabu yang terjadi di Eropa masa lalu, yaitu ketika kerajaan-kerajaan di Eropa pada saat itu memaksakan suatu agama/sekte dan menekan agama/sekte lain. Yang terjadi adalah pembunuhan dan penyiksaan para penganut agama atau sekte minoritas. Namun sayangnya aktivis Islam liberal mengabaikan atau sengaja menyembunyikan tentang fakta sejarah ketika Islam memimpin dunia. Yang terjadi bukanlah penindasan, akan tetapi kemakmuran, keadilan dan toleransi. Selain itu pemikiran tentang pemisahan negara dan agama juga dilandasi oleh konsep mereka tentang Tuhan (lihat karakteristik yang pertama). Mereka tidak mengakui ke-universalitas-an (syumuliyyah) Islam. Mereka tidak mau Islam mengatur seluruh kehidupan manusia. Menurut mereka akal-lah yang berhak mengatur manusia. Bukan Islam ataupun Tuhan.
Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama. Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama tapi bebas dari agama juga. Dengan kata lain bebas beragama dan bebas untuk tidak beragama. Mereka berusaha untuk meniadakan istilah kafir, murtad dan berusaha untuk mengabaikan dan mengubah perlakuan dan/atau sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh agama terhadap kedua golongan itu. Mereka lebih senang dengan menggunakan istilah non muslim, karena lebih netral. Mereka juga akan selalu membela ajaran-ajaran sesat yang bermunculan. Kesemuanya itu mereka lakukan dengan menggunakan jargon membela hak asasi manusia (hak kebebasan sebebas-bebasnya). Namun sayangnya, mereka cenderung tidak memberi kebebasan bagi umat untuk menerapkan syari’ah dalam kehidupan mereka. Ini menunjukkan cara pandang ganda dari para aktivis liberal.

KH Ahmad Badawi, Ulama Muhammadiyah dan Politisi

Muhammadiyah pernah mempunyai tokoh ulama yang juga politisi ulung. Beliau adalah KH Ahmad Badawi. KH Ahmad Badawi ini lahir pada 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4 dari KH Muhammad Fakih. Ayahnya merupakan salah satu pengurus Muhammadiyah pada 1912 sebagai komisaris. Sedangkan ibunya bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik kandung K.H. Ahmad Dahlan).
Dalam keluarga Badawi sangat kental ditanam­kan nilai-nilai agama. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Di antara saudara-saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia masih menempuh pendidikan. Sejak masih belajar mengaji di pondok-pondok pesantren, dia sering membuat kelompok belajar/organisasi yang mendukung kelancaran proses mengajinya.
Usia kanak-kanaknya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Pada tahun 1908-1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar, untuk belajar tentang nahwu dan sharaf. Pada 1913-1915 ia belajar kepada K.H. Dimyati di Pondok Pesantren Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang pintar berbahasa Arab (nahwu dan sharaf) yang telah didapat di Pondok Lerab. Pada 1915-1920 Ahmad Badawi mondok di Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan. Badawi mengakhiri pencarian ilmu agama di Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921.
Pendidikan formalnya hanya didapatkan di Madrasah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, yang belakangan berubah menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi SD Muhammadiyah.
Tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja membuatnya harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi. Masing-masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya dengan berbagai macam cara, dengan tujuan untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial Belanda, dengan berbagai variasi sesuai dengan misi dan visi organisasinya.
Keinginan Badawi untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya dari berbagai pesantren akhirnya mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan orientasi Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya di Muhammadiyah lebih diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah nomor 8.543 pada tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944 (Jusuf Anis, t.t., p. 25).
Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia turut beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean Kulon Progo.
Pada 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan K.H. Mahfudz sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta bergabung di Batalyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan.
Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini kemudian membubarkan diri.
Semenjak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke-Muhammadiyah-an.
Prestasi di bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah Za’imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 1942). Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan potensi wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi muballighat yang handal di daerahnya.
Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Badawi selalu terpilih dan ditetapkan menjadi Wakil Ketua.
Pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.
Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka Muhammadiyah di mata Presiden. KH Ahmad Badawi sangat bijak dan pintar dalam melobi Presiden dengan nuansa agamis. KH Ahmad Badawi tidak menjilat atau menjadi antek Soekarno, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno.
Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya, bila KH Ahmad Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut memperhatikan fatwa Kiai Badawi.
Bagi Muhammadiyah, keadaan ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang terus jalan harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah pada masa itu senafas dan seirama dengan Masyumi, namun ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah.
Bahkan Soekarno sepertinya semakin menyukainya untuk balance of power policy (PP. Muhammadiyah, t.t., halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran Muham­madiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.
Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam. Secara relatif KH Ahmad Badawi bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani kepada Soekarno disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden.
Pada tahun 1968, dalam masa pemerintahan Orde Baru, Kiai Badawi diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Di DPA itu, ia memberikan nasehat kepada Presiden Soeharto di bidang agama Islam. Namun, KH Ahmad Badawi sebenarnya hanya sedikit memberikan nasehatnya pada pemerintahan awal Orde Baru itu. Hal ini dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah melemah. Penyakit yang disandangnya kurang memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk turut berkiprah lebih banyak dalam memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Sebagai seorang pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan Sju’abul-Imam (bahasa Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Hadji (bahasa Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji’il Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams (bahasa Arab), Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia), dan Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis, tt: 27).
KH Ahmad Badawi meninggal hari Jum’at 25 April 1969 pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Usaha para dokter tidak bisa menghadang takdir Allah yang telah ditentukan atasnya.
Di saat meninggal, KH Ahmad Badawi masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang di Muhammadiyah beliau ditempatkan sebagai Penasehat PP. Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta.

Robert Gelhem, pemimpin yahudi di Albert Einstain College masuk Islam

Ada artikel menarik: Robert Gelhem, pemimpin yahudi di Albert Einstain College dan pakar genetika ini mendeklarasikan dirinya masuk Islam ketika ia mengetahui hakikat empiris ilmiah dan kemukjizatan Al-Quran tentang penyebab penentuan iddah (masa tunggu) perempuan yang dicerai suaminya dengan masa 3 bulan.

Ia menambahkan, pakar Guilhem ini yakin dengan bukti-bukti ilmiah. Bukti-bukti itu menyimpulkan bahwa hubungan persetubuhan suami istri akan menyebabkan laki-laki meninggalkan sidik (rekam jejak) khususnya pada perempuan. Jika pasangan ini setiap bulannya tidak melakukan persetubuhan maka sidik itu akan perlahan-lahan hilang antara 25-30 persen. Setelah tiga bulan berlalu, maka sidik itu akan hilang secara keseluruhan. Sehingga perempuan yang dicerai akan siap menerima sidik laki-laki lainnya.

Bukti empiris ini mendorong pakar genetika Yahudi ini melakukan penelitian dan pembuktian lain di sebuah perkampungan Afrika Muslim di Amerika. Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa setiap wanita di sana hanya mengandung dari jejak sidik pasangan mereka saja. Sementara penelitian ilmiah di sebuah perkampungan lain di Amerika membuktikan bahwa wanitanya yang hamil memiliki jejak sidik beberapa laki-laki dua hingga tiga. Artinya, wanita-wanita non Muslim di sana melakukan hubungan intim selain pernikahan yang sah.

Yang mengagetkan sang pakar ini adalah ketika dia melakukan penelitian ilmiah terhadap istrinya sendiri. Sebab ia menemukan istrinya memiliki tiga rekam sidik laki-laki alias istrinya berselingkuh. Dari penelitiannya, hanya satu dari tiga anaknya saja berasal dari dirinya. Setelah penelitian-penelitian yang dilakukan ini akhirnya meyakinkan sang pakar Guilhem ini memeluk Islam. Ia meyakini bahwa hanya Islamlah yang menjaga martabat perempuan dan menjaga keutuhan kehidupan social. Ia yakin bahwa wanita Muslimah adalah wanita paling bersih di muka bumi ini.