Mei 09, 2012


Islamedia - Khalid bin Walid adalah Panglima yang memporak porandakan pasukan Muslimin di Perang Uhud. Lalu Allah akhirnya menghendakinya menjadi bagian dari kaum Muslimin. Kemarin ia adalah orang yang sangat membenci Muhammad serta membenci agama yang dibawanya, namun hari ini ia adalah orang yang sangat mencinta Muhammad saw dan agama barunya yakni Islam.

Dialah yang menghancurkan pasukan Musailamah Al-Kadzab seorang Nabi palsu yang mengaku Nabi setelah wafatnya Rasulullah saw. Dia pula yang menyelamatkan kaum Muslimin dari kepungan orang-orang kafir saat Perang Mu’tah. Dia juga yang menghancurkan pasukan Persia. Dia pulalah yang menghancurkan 240 ribu pasukan Romawi saat perang Yarmuk. Dia adalah orang yang mukhlish dimana disaat namanya kian menjulang di kawasan jazirah arab karena kemenangan yang selalu ia raih, ia dengan ikhlas dan penuh ta’zim saat harus diturunkan jabatannya dari panglima besar hanya menjadi prajurit biasa.

Salman Al-Farisi adalah seorang walikota di daerah Madain. Ia adalah walikota yang sederhana, yang tak memakan gajinya sedikitpun, ia bagikan seluruhnya untuk rakyatnya. Dan ia menghidupi keluarganya dengan menjual keranjang hasil anyamannya sendiri.

Bilal bin Rabah setiap hari ia dipanggang ditengah padang pasir yang membakar. Dicambuk dan ditindih batu besar. Tak bergeming hatinya dari aqidahnya. Tak bergerak bibirnya untuk mengatakan perintah Umayyah majikannya untuk menyebutkan berhala latta dan uzza.

Mush’ab bin Umair tangan kanannya putus karena mempertahankan bendera dan melindungi Rasulullah dari serangan musuh dalam Perang Uhud. Lalu ia mengambil dan mengibarkan bendera dengan kanan kirinya, lalu musuh kembali menebas tangan kirinya hingga putus. Mush’ab pun mengibarkan panji dengan mengapit bendera dengan kedua pangkal pahanya. Lalu musuh menombaknya hingga syahid.

Abu Dzar Al-Ghifari sebelumnya adalah seorang perampok yang paling ditakuti di Jazirah Arab. Lalu hidayah Allah datang kepadanya dan dia adalah orang ke enam yang masuk Islam dia pula orang pertama yang berani secara terang-terangan meneriakan syahadatain di tengah-tengah orang kafir Quraisy. Padahal waktu itu dakwah masih sirriyah (sembunyi-sembunyi).
Hmmm..banyak kisah dan peristiwa yang begitu menakjubkan. Keajaiban keajaiban yang ditunjukan para sahabat sungguh luar biasa. Mereka yang sebelumnya teramat membenci dakwah ini lalu berubah 180 derajat menjadi pribadi yang begitu mempesona dan mencintai dakwah ini dengan segenap jiwa. Bahkan mereka rela mengorbankan apapun untuk Allah dan Rasulnya.

Apa yang membuat mereka menjadi sehebat itu?

Syahadah…syahadah yang telah merubah warna mereka. Kepribadian mereka berubah total setelah lisannya berucap Laa Ilaaha illallah Muhammad Rasulullah..kalimat itulah yang telah menjadikan mereka diliputi penuh kemuliaan. Kisah kisah heroik dalam mempertahankan aqidah, mereka suguhkan sebagai konsekwensi setelah berikrar dengan mengucap syahadatain.

Mereka merevolusi diri mereka dengan penuh keikhlasan, tanpa beban sedikitpun. Malahan, mereka melakukannya dengan penuh cinta. Mereka rela berkorban meski harta tak bersisa, mereka siap berkorban meski harus bermusuhan dengan ibu dan keluarga tercinta, bahkan hingga nyawa meregang dengan jasadnya, siap mereka pertaruhkan untuk Allah dan Rasul-Nya.

Sungguh..mereka adalah sebaik baik generasi. Pengorbanan dan perjuangan mereka tak akan mampu ditandingi oleh siapapun.

Bagi ummat sekarang ini, syahadatain seperti tak bermakna. Ia hanya terucap dibibir tanpa membekas dihati dan tanpa terlihat pada amal. Sedangkan para sahabat mengerti benar, bahwa syahadatain yang mereka ucapkan bukanlah sebuah kalimat biasa tanpa makna. Melainkan sebuah kalimat yang teramat berat dan penuh resiko serta penuh konsekwensi yang akan mereka hadapi. Namun mereka yakin hanya dengan syahadatain lah mereka bisa bertemu Tuhannya secara langsung di syurga kelak. Hanya dengan syahadah lah mereka bisa bermanja manja kelak ditaman taman syurga yang hijau. Maka untuk meraih kenikmatan di akhirat itu, mereka tak peduli sesakit apapun perjuangan mereka di dunia. Karena pada sesungguhnya mereka sedang membangun rumah di syurga-Nya.

Mereka sadar dengan sepenuhnya bahwa syahadah yang mereka ucapkan memiliki makna begitu dalam. Mereka mengerti dan memahami keputusan mengucapkan syahadah bukan hanya sekedar pernyataan melainkan sebuah janji dan sumpah yang harus selalu mereka pegang dan tak boleh melepasnya meski sebentar saja.

1.       Al-I’lan (pernyataan)
Katakanlah (Muhammad) : “Wahai Ahli Kitab! marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami seorang Muslim”. (Ali Imron : 64)

Inilah pintu gerbang untuk memasuki bangunan Islam. Siapa saja yang ingin memasuki agama Islam yang mulia ini ia harus menyatakan keislamannya dengan mengucap syahadatain. Serta ia harus mengetahui apa konsekwensi yang ada dibelakangnya.

Kalimat ini bukan kalimat biasa, ia syarat makna dan begitu berat. Secara substansi syahadah adalah pernyataan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, sekaligus pengukuhan Allah sebagai satu satunya Tuhan dan Rasulullah satu satunya teladan. Maka konsekwensi dari syahadah adalah menolak segala jenis tuhan tuhan yang lain.

Para sahabat mengeti benar kalimat syahadah ini. Karenanya, disiksa bagaimanapun tak akan menggoyahkan aqidah mereka.

2.       Al-Wa’du (Janji)
Dan (ingatlah) ketika Tuhan mu mengeluarkanmu dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah aku ini Tuhan mu?” mereka nebjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami) kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu), agar dihari kiamat kamu tidak mengatan, “sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (Al-A’raf : 172)

Selain pernyataan, syahadah juga berarti perjanjian; perjanjian yang kuat. Berjanji hanya untuk meng-Esakan Allah. Berjanji untuk tidak menyembah dan meminta pertolongan selain kepada-Nya. Berjanji setia untuk senantiasa mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Serta menjauhi semua larangan-Nya dan Rasul-Nya.

Maka dari makna ini, konsekwensinya adalah, seorang muslim harus beramal, beribadah sesuai perintah-Nya. Mengikuti aturan hidup yang termaktub dalam kitab suci-Nya. Melanggar perjanjian ini berarti ia termasuk golongan munafik.

3.       Al-Qosam (Sumpah)
Katakanlah (Muhammad): “Sesungguhnya sholatku, iabadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (Al-An’am : 162-163)

Syahadah juga bermakna sumpah. Tentu sumpah ini lebih berat maknanya dari pernyataan dan janji. Seorang muslim secara sadar akan terikat oleh sumpah ini. Sumpah hanya untuk mentauhidkan Allah saja. Sumpah untuk menyerahkan segala hidupnya, matinya dan ibadahnya hanya untuk Allah saja. Sumpah untuk tetap mempertahankan aqidah bagaimanapun penyiksaan yang akan dihadapi. Sumpah untuk tetap istiqomah dan memperjuangkan agama ini dengan pengorbanan sebesar besarnya.

Jika seorang muslim mampu menjalankan syahadatain dengan sebenar-benarnya maka akan melahirkan sifat berani (syaja’ah), tenang (Ithmi’nan) dan Optimis (Tafa’ul). Ketiga sifat inilah yang diconrohkan para sahabat. Setelah bersyahadat, tak ada lagi rasa takut dalam jiwanya kecuali pada Allah saja. Tak ada kegelisahan dalam menghadapi mihnah (cobaan) karena mereka yakin Allah bersama mereka. Tak ada rasa pesimis dalam mencapai ridho Allah.

Para sahabat telah menunjukan dengan benar sebagai seorang muslim yang kaffah. Yang tak bergeming sedikitpun dari keyakinannya, manakala siksaan mendarat ditubuh mereka, manakala ditawarkan kedudukan, harta serta wanita cantik untuk mereka agar mereka meninggalkan keyakinannya. Meski tangan harus putus, meski tubuh harus digergaji sekalipun, meski tombak harus memecah kepala, meski badan harus terbelah dengan hunusan pedang, meski jantung harus dikeluarkan,,tak akan menggoyahkan aqidah mereka.  Yang mereka yakini kemuliaan hanyalah disisi Allah saja.

Ummat hari ini begitu memperihatinkan..dengan sebungkus mie instan saja aqidah dapat digadaikan. Ummat ini tidak bangga dengan agamanya sendiri. Banyak yang memajang foto di facebook bersama dengan seorang wanita/pria yang bukan muhrimnya. Banyak yang asal bergandengan tangan bukan dengan muhrimnya, mereka mempertontonkan akhlak yang jauh dari akhlak seorang muslim.

Ummat ini tidak tahu dan tidak mau tau apa makna sebenarnya dari sebuah syahadah. Mereka harus diluruskan. Di da’wahi oleh para da’i yang telah memahami makna syahadah ini. Ummat ini harus dibimbing agar tidak semakin terpelosok kedalam. Mereka harus diarahkan agar senantiasa mengkaji kedalaman ilmu agama ini. Mereka harus diarahkan agar sering membaca literatur sejarah agama serta pelaku pengibar bendera agama ini. Mereka harus dikenalkan kembali siapa tuhannya, siapa nabinya, apa kitab sucinya, siapa saudara-saudaranya. Mereka harus diberitahu siapa yang harus diteladani, di idolakan. Mereka harus tahu pengorbanan Rasulullah saw dan para sahabatnya yang menakjubkan.

Maka itu semua menjadi tugas kita ikhwahfillah…

Semoga Allah mempertemukan kita di syurga kelak..bersama Rasulullah, para sahabat dan para pejuang Islam lainnya…aminn..

Wallahu’alam bisshowab
Seorang Muslim senantiasa mengharapkan Ridho Allah dalam setiap sepak terjang aktifitasnya. Sebab ia tahu bahwa hanya dengan memperoleh Ridho Allah sajalah hidupnya menjadi lurus, terarah dan benar. Seorang Muslim yang mengejar Ridho Allah berarti menjadi seorang beriman yang ikhlas. Orang yang ikhlas dalam ber’amal merupakan orang yang tidak bakal sanggup diganggu apalagi dikalahkan oleh syetan. Allah menjamin hal ini berdasarkan firmanNya dimana dedengkot syetan saja, yakni Iblis, mengakui ketidak-berdayaannya menyesatkan hamba-hamba Allah yang mukhlis.

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ
وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

”Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". (QS Al-Hijr ayat 39-40)
Orang-orang yang telah menjadikan Ridho Allah semata sebagai tujuan hidupnya tidak mungkin dapat disimpangkan dari jalan yang benar.  Mereka tidak mempan di-iming-imingi dengan kenikmatan apapun di dunia ini. Sebab mereka sangat yakin bahwa kenikmatan jannah (surga) yang Allah janjikan bagi mereka tidak bisa disetarakan apalagi dikalahkan oleh kenikmatan duniawi bagaimanapun bentuknya. Harta, tahta maupun wanita tidak mungkin mereka dahulukan daripada kenikmatan ukhrawi surgawi yang Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sendiri gambarkan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّه
 أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ
وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: Allah berfirman: “Aku telah sediakan untuk hamab-hambaKu yang sholeh apa-apa yang tidak pernah mata memandangnya, dan tidak pernah telinga mendengarnya dan tidak pernah terbersit di dalam hati manusia.” ( HR Bukhary)

Hamba-hamba Allah yang mukhlis kebal terhadap berbagai ancaman manusia berupa siksa dan penderitaan duniawi apapun, karena bagi mereka tidak ada yang lebih menakutkan daripada ancaman Allah berupa siksa dan penderitaan hakiki di dalam neraka akhirat kelak. Mereka memiliki sikap seperti sikap para tukang sihir Fir’aun yang semula loyal kepada penguasa zalim tersebut, namun setelah menyaksikan betapa unggulnya kekuatan Allah lewat performa NabiNya Musa, maka akhirnya mereka bertaubat. Mereka selanjutnya meninggalkan (baca: baro’ alias berlepas diri dari) Fir’aun dan tidak menghiraukan ancamannya bagaimanapun bentuknya:

قَالَ آَمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آَذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَسَوْفَ تَعْلَمُونَ لَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ أَجْمَعِينَ قَالُوا لَا ضَيْرَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنْقَلِبُونَ إِنَّا نَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَنْ كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ

”Fir`aun berkata: "Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya". Mereka berkata: "Tidak ada kemudharatan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami, sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman". (QS Asy-Syuara ayat 49-51)

Orang-orang yang sibuk menggapai Ridho Allah semata dalam hidupnya sangat meyakini bahwa hanya Allah sajalah yang patut di jadikan prioritas utama kecintaan, kepatuhan dan rasa takut. Mereka berusaha untuk selalu mendahulukan Allah dalam setiap gerak-gerik hidupnya. Mereka sangat benci menyekutukan atau menduakan apalagi men-tigakan Allah, Rabbul’aalamiin. Sebab mereka sangat yakin bahwa Allah sajalah Raja di langit dan Raja di bumi. Sehingga dalam menyerahkan kecintaan, kepatuhan atau rasa takut kepada selain Allah mereka tidak akan pernah mau menyetarakan apalagi mendahulukan selain Allah. Sikap mereka kepada para pemimpin dan pembesar dunia adalah sikap yang sangat proporsional. Mereka hanya mau mentaati pemimpin yang senantiasa mengajak kepada meraih Ridho Allah juga. Namun bila pemimpin yang ada malah mengalihkan mereka dari mengejar Ridho Allah, maka bagi orang-orang mukhlis Ridho Allah jauh lebih utama didahulukan.

Kaum mukhlisin hanya meyakini bahwa jalan hidup yang sepatutnya dilalui hanyalah jalan hidup yang mendatangkan keridhoan Allah. Sedangkan Allah telah menegaskan bahwa hanya Islam-lah jalan hidup atau dien yang diridhaiNya.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
”Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)

Sedemikian yakinnya kaum mukhlisin akan kebenaran pernyataan Allah di atas, sehingga di dalam hati mereka tidak tersisa lagi cadangan kepercayaan akan jalan hidup lainnya. Sebab semua jalan hidup lainnya bukan dari Allah yang mereka senantiasa kejar keridhaanNya. Jalan hidup lainnya hanyalah jalan hidup palsu bikinan manusia yang seringkali dihiasi dengan nafsu dan sikap zalim serta keterbatasan ilmu alias jahil atau bodoh. Orang-orang mukhlis tidak lagi menyisakan di dalam diri mereka kepercayaan akan Liberalisme, Pluralisme, Sekularisme, Kapitalisme, Sosialisme, Komunsime, Humanisme, Hedonisme apalagi Demokrasi. Semua jalan hidup itu bagi mereka tidak menjamin akan mendatangkan keridhoan Alllah. Padahal mereka sudah sangat yakin bahwa hidup tanpa keridhoan Allah adalah kehidupan yang merugi dan penuh ke-sia-siaan.

Kaum mukhlisin hanya meyakini bahwa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan satu-satunya teladan dan prototype sempurna yang wajib diteladani segenap sepakterjang perjuangannya. Bilamana menempuh jalan uswah tersebut berakibat kepada munculnya kehidupan yang penuh kesulitan dan jalan mendaki, maka mereka dengan rela hati akan menempuhnya. Bila karena meneladani Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam
mereka harus mengalami pengucilan dan stigma negatif dari kebanyakan manusia, maka mereka dengan sabar terus menempuhnya. Tidak sedikitpun rayuan dan iming-iming maupun ancaman dan black campaign fihak musuh dapat menyimpangkan mereka dari jalan hidup teladan utama ini. Karena kaum mukhlisin sangat yakin bahwa menegakkan sunnah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam merupakan satu-satunya jalan untuk meraih keridhoan Allah.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
 لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam  itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21)

Sedangkan meninggalkan sunnah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam hanya akan mengantarkan mereka kepada kesenangan sementara dunia namun mengakibatkan penderitaan abadi dan hakiki di dalam kehidupan akhirat kelak nanti. Apalah artinya ”seolah berjaya” sebentar di dunia untuk kemudian merugi dan menyesal selamanya di akhirat. Lebih baik bersabar sebentar di dunia untuk menikmati kesenangan dan kebahagiaan sejati lagi abadi di kampung halaman jannatun-na’iim.

Maka para pemburu Ridho Allah setiap hari senantiasa memperbaharui komitmen mereka dengan mengikrarkan di dalam dirinya kalimat “Aku ridha Allah sebagai Rabb dan Al-Islam sebagai dien (jalan hidup) dan Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagai Nabi”. Pengulangan ikrar harian ini menjadi sangat penting sebab ia merupakan salah satu jalan untuk memastikan bahwa Ridho Allah menyertai mereka ketika sudah berjumpa Allah di hari Kiamat atau hari Berbangkit. Demikianlah anjuran Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam kepada ummatnya sebagaimana diterangkan di bawah ini: 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَقُولُ حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي ثَلَاثَ مَرَّاتٍ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Bersabda Rasulullah saw: “Tidak ada seorang Muslim yang membaca di pagi hari dan di sore hari sebanyak tiga kali “Aku ridha Allah sebagai Rabb dan Al-Islam sebagai dien (jalan hidup) dan Muhammad sebagai Nabi”, kecuali Allah pasti meridhainya pada hari Kiamat.” (HR Ahmad)

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ إِنْسَانٍ أَوْ عَبْدٍ يَقُولُ
حِينَ يُمْسِي وَحِينَ يُصْبِحُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا
 إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Bersabda Rasulullah saw: “Tidak ada seorang Muslim atau seorang manusia atau hamba yang membaca di sore hari dan di pagi hari: “Aku ridha Allah sebagai Rabb dan Al-Islam sebagai dien (jalan hidup) dan Muhammad sebagai Nabi”, kecuali Allah pasti meridhainya pada hari Kiamat.” (HR Ibnu Majah)