Tahapan Pelaksanaan Syariat dalam Perspektif Dakwah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan
syariat-Nya sebagai syifa` untuk mengobati segala penyakit kehidupan,
memberikan way out (makhraj) dari setiap krisis yang menimpa dan secara
umum pada garis horizontal mengkondisikan kehidupan sosial yang saling
menguntungkan, sedang pada garis vertikal mengundang turunnya rahmat
Allah baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Syariat Islam adalah keimanan (untuk
diimani), tapi sebelum itu ia adalah ilmu dan kepahaman (untuk
diinternalisasi) lalu sesudah itu langsung tanpa suatu interval harus
terwujud sebagai perilaku moral dalam setiap bidang kehidupan.
Pola percontohan untuk itu semua adalah
kehidupan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabat
beliau yang Allah ridhai. Potretnya secara tepat dibidik oleh kamera
Siti Aisyah radliyallhu’anha wa ‘an walidiha “Akhlak Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al-Qur`an.” (Riwayat Bukhari)
Pelaksanaan syariat Islam harus sesuai
dengan watak syariat itu sendiri, diantaranya adalah konsisten dengan
prinsip pentahapan (attadarruj). Hal ini ditunjukkan dengan adanya
periode Mekkah dan Madinah dalam tasyri` atau penetapan hukum syara’,
juga pentahapan dalam mengatasi setiap masalah besar seperti khamar dan
riba. Prinsip pentahapan juga ini merupakan sunnatul hayah atau hukum
kehidupan baik biologis apalagi yang kultural. Kemudian iapun merupakan
minhaj dalam dakwah untuk mensosialisasikan dan mengaplikasikan syariat,
seperti dalam arahan Rasul Allah kepada da’inya Mu’adz ketika beliau
mengutusnya ke Yaman.
Kertas kerja ini akan menawarkan garis
besar tahap-tahap yang niscaya dilalui dalam menyerukan dan
mensosialisasikan pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh. Wallahu
al musta’an.
B. Prinsip-Prinsip Aplikatif
Untuk memperbincangkan pelaksanaan syariat secara total dan gradual ada beberapa prinsip yang perlu dikemukakan, yaitu:
1. Prinsip Kesepahaman
Pelaksanaan syariat Islam adalah
persoalan setiap muslim secara individual, setiap organisasi Islam baik
sosial maupun politik, dan setiap pemimpin Islam di semua tingkatan.
Tetapi, sebagai bentuk dari proses perubahan yang direncanakan tentu ada
kalangan yang berperan sebagai pengatur dan aktif memperjuangkannya.
Mereka adalah para pemimpin umat di lembaga-lembaga sosial maupun
politik. Adanya kesepahaman di antara mereka mengenai hal-hal penting
dalam pelaksanaan syariat merupakan keniscayaan. Hal-hal yang perlu
dirumuskan di atas prinsip kesepahaman adalah:
- Batasan pelaksanaan syariat.
- Sifat aplikasi syariat sekaligus atau gradual.
- Urutan materi syariat yang diaplikasikan menuju aplikasi total secara legal-formal.
Diskusi tentang masalah ini akan disampaikan pada tahap kristalisasi ide dan konsep.
2. Prinsip Klasifikasi
Dengan prinsip ini perlu
diklasifikasikan apa saja yang merupakan wilayah pelaksanaan individual,
mana yang lebih tepat menjadi wilayah aplikasi bagi unit-unit sosial
atau organisasi sosial Islam, dan apa-apa saja yang harus merupakan
wilayah aplikasi legal-formal, bahkan mana yang mesti ditangani oleh
negara.
Klasifikasi ini akan mempermudah agenda
kerja, karena ada fokus tentang materi yang masih harus diperjuangkan
secara politis. Adalah tidak mungkin menyerahkan aplikasi syariat
seluruhnya kepada masyarakat semata, begitupun tidak tepat menyerahkan
semuanya kepada pemerintah.
3. Prinsip Mencermati Realita
Sebagaimana tidak ada paksaan untuk
mengimani atau menganut Islam, pelaksanaan syariatnyapun tidak harus
berarti memaksakannya kepada realita sosial dengan keputusan legal atau
dekrit sekalipun. Karena jika itu dilakukan seperti kata Umar bin Abdul
Aziz justru masyarakat akan menolak seluruhnya dan itu adalah suatu
bencana. Karenanya mencermati realita atau fiqh al waqi menjadi penting.
Di atas bentangan realita masyarakat Nusantara, sejumlah hal signifikan
meminta untuk dicatat :
- Realita keberagaman agama dengan pekanya isu SARA dan kecemburuan dunia (Barat) Salibi terhadap setiap isu Islamisasi.
- Tingkat pemahaman kaum muslimin tentang agamanya yang masih sangat bervariasi dan belum terstandarisasi.
- Fenomena yang muncul belakangan ini yaitu mengemukanya potensi disintegrasi yang tidak berhubungan dengan isu syariat tapi ekonomi, politis dan budaya.
- Tidak boleh terlewatkan juga untuk dicatat fenomena meluasnya kesadaran Islam di masyarakat, sebagai bagian dari gejala global kebangkitan kesadaran Islam atau shahwah Islamiah.
- Begitu pula bukti kegagalan sistem sekuler yang telah mengantarkan bangsa kita pada keterpurukan akibat krisis multidimensional, telah membuka peluang untuk menawarkan sistem kehidupan Islam secara menyeluruh dan sungguh-sungguh.
4. Prinsip Prioritas
Isi syariat Islam tidak sama bobotnya.
Kondisi ini terefleksikan dalam hukum syara’ yang diklasifikasikan
kepada lima, yaitu fardhu atau wajib, sunat/nadab, jaiz, makruh, dan
haram. Di antara perkara yang wajib pun ada yang asasi dan merupakan
pilar-pilar syariat ada juga yang di luar itu. Dan ada yang
dikategorikan wajib ‘ain (individual) dan wajib kifayah (sosial).
Laksana membangun rumah, pelaksanaan syariat juga harus dimulai dari
perkara yang fundamental, disusul yang merupakan pilar-pilar dan
didahului oleh tiang pancangnya yaitu shalat, kemudian kewajiban
individual lainnya, diikuti dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban
sosial. Setelah itu barulah perkara yang anjuran. Di antara perkara yang
wajib sebagian ulama menyebut kewajiban-kewajiban berskala besar al
wajibat al kubra,dan dari analisis waktu Ibnu Qayim menyebut Faraidh al
Waqti kewajiban yang mendapat desakan waktu untuk dilaksanakan.
5. Prinsip Alternatif Model
Perjuangan untuk melaksanakan syariat
Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dunia
Islam telah mencatat beberapa model. Ada model Iran yang mengaplikasikan
versi mazhab Syi’ah meski terdapat komponen masyarakatnya yang
bermazhab Sunni, digulirkan secara top-down sebagai bagian dari program
revolusi. Ada model Pakistan yang memunculkan kerjasama antarpara pakar
melalui Komisi Islamisasi dengan pemerintahan almarhum Presiden Ziaul
Haq, tetapi tidak diwarisi semestinya oleh pemerintahan berikutnya.
Ada pula model Sudan yang mengandalkan
perjuangan politik melalui Front Kebangsaan Islami pimpinan Dr. Hasan
Turabi yang memakai pendekatan zona. Zona yang mayoritas Kristen
dibebaskan dari Undang-Undang Syariat.
Ada lagi model Afganistan yang mencoba
menerapkan wajah Islam puritan yang terkesan kurang mencermati tuntutan
modern. Patut dicatat juga model Yaman dan Malaysia yang tengah
memproses aplikasi syariat melalui pendidikan atau penyuntikan Islam
kedalam tubuh kehidupan termasuk birokrasi, penerapan secara otonom di
sementara wilayah, semuanya ditempuh setelah mencantumkannya dalam
konstitusi.
Untuk Indonesia tidak mesti menempuh model yang mirip dengan salah satu model tersebut, namun tetap harus dirumuskan.
C. Langkah-langkah Menuju Aplikasi Total dan Formal
Ada beberapa langkali menuju aplikasi syariat secara total dan legali formal, yang secara urut harus ditempuh.
1. Kristalisasi Ide dan Konsep
Setidaknya ada tiga tataran yang dapat disebut berkenaan dengan aplikasi syariat, yaitu:
a). Aplikasi ritual
Sementara kaum muslimin boleh jadi telah
merasa at home dengan kebebasan melaksanakan ibadah ritual dan
acara-acara seremonial keislaman. Dengan begitu telah merasa
melaksanakan syariat Islam. Pandangan ini sangat mungkin masih ada
bahkan dominan di kalangan awam dan tradisional.
b). Aplikasi behavioral-kultural
Sebagian kaum muslimin juga lebih
percaya dengan efektivitas Islam kultural daripada Islam legal-formal.
Istilah mereka yang lebih penting substansinya bukan formalitasnya. Dan
setiap upaya melegalkan ajaran syariat hanya mengundang perlawanan dan
disintegrasi sosial dalam masyarakat yang multi agama. Pandangan seperti
ini masih cukup kuat di kalangan intelektual muslim nasionalis.
c). Aplikasi legal formal
Memandang bahwa aplikasi Islam secara
ritual adalah batas minimal yang tidak bisa ditawar. Dan aplikasi Islam
kultural merupakan wilayah usaha swasta yang bersifat suka rela
memanfaatkan peluang yang diberikan oleh otoritas (situasi) politik.
Namun aplikasi Islam secaratotal dan melembaga tidak bisa tidak
dilakukan secara legal-formal. Dan ini adalah sebuah perjuangan panjang.
Untuk konteks Indonesia, pelaksanaan
syariat secara ritual sudah selesai atau tidak ada masalah.
Pelaksanaannya secara behavioral-kultural sedang berjalan dalam proses
memperluas wilayah sosial yang taat. Dan alhamdulillah predikat santri
tidak lagi membuat seseorang inferior bahkan boleb jadi bangga. Tapi
pengalaman berbicara bahwa untuk keperluan memperkuat posisi pernikahan
Islami dan Peradilan Agama saja, harus ditempuh langkah legalisasi.
Begitupun dengan keperluan memperkuat
posisi penerimaan zakat. Ini menunjukkan bahwa yang relevan sekarang
dalam mendefinisikan aplikasi syariat itu adalah aplikasi secara total
dan legal-konstitusional. Dengan itu maka aplikasi syariat dalam
definisi pertama dan kedua dikokohkan dan dikukuhkan, dan ajaran-ajaran
sosial Islam dapat dilaksanakan bahkan bilamana perlu dilembagakan.
Sifat pelaksanaan syariat, apakah
sekaligus atau bertahap (gradual). Alternatif pertama terlalu sulit
kalau bukan hal yang tidak mungkin. Jika cara gradual yang dipilih,
masih harus disepakati beberapa hal yang terkait :
- Tahapan materi syariat yang diaplikasikan.
- Sasaran-sasaran apa yang hendak diunggulkan dan sekaligus merupakan tolak ukur keberhasilan pelaksanaan syariat.
- Tahapan langkah-langkah ke arah aplikasi total dan legal.
Materi Syariah
Mengenal materi syariat yang hendak
diaplikasikan dapat dijelaskan dengan menyebutkan struktur kandungan
syariat itu sendiri yang terdiri dari:
- Pilar-pilar: menegakkan shalat, menunaikan zakat, menjalankan puasa, dan melaksanakan haji. Khitthah pelaksanaan syariat harus mampu mengangkat posisi rukun (arkaan)tersebut dari urusan pribadi menjadi urusan umat. Umat harus dapat memerintahkan individu untuk menegakkan shalat dan memberi sangsi terhadap siapa pun yang tidak menghormatinya. Demikian halnya dengan pelaksanaan puasa. Sedangkan untuk zakat, peran amilin yang mewakili umat harus punya otoritas untuk memungutnya dengan teknik jemput bola : (khudz), bukan hanya menerima zakat yang datang.
- Bangunan kehidupan islami: Pola dan sistem komunikasi sosial antar orang Islam dan terhadap non-muslim, kehidupan ekonomi, kehidupan berbudaya dan berpolitik. Pelaksanaan syariat menuntut dimasukinya wilayah-wilayah ini bukan hanya dengan sentuhan etis-moral dan bersifat individual. Melainkan juga dengan ahkamnya yang mempunyai otoritas legal. Komitmen umum terhadap akhlak dan etika sosial merupakan pintu gerbang bagi disiplin aturan dan sadar hukum. Upaya ini harus berjalan seiring dengan penguburan sumber-sumber maksiat, yaitu segala jenis khamar, segala macam perjudian dan segala cara perzinahan.
- Aspek penyangga: Dilaksanakannya aturan kepidanaan lslam, amar makruf nahi munkar, dan jihad fi sabilillah. Sistem legal Islam berkulminasi pada hudud yang sangat sensitif dan masih mengundang resistensi yang kuat. Karenanya prinsip pentahapan dan penjadwalan sangat penting untuk dipertimbangkan. Dan konsep “penolakan hukuman karena hal yang kurang meyakinkan (syubhat)” dapat diperluas pemaknaannya sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ibnul Khatthab. Pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar bukan saja secara personal melainkan juga secara institusional, sehingga tidak ada lagi suatu kemunkaran yang di luar jangkauan. Dalam konteks ini lembaga kepolisian diperkuat peranannya dengan fungsi hisbah dalam fikih Islam. Dan dengan memasukkan konsep jihad kedalam fungsi kemiliteran maka tentara nasional bersama-sama rakyat menghadapi ancaman dari luar, masing-masing sebagai kekuatan reguler dan cadangan.
Gerakan amar ma’ruf nahi munkar ini
berjalan seiring dan saling menunjang dengan dakwah. Aplikasi syariat
secara legal formal juga memberi kekuatan bagi pelaksanaan dakwah. Yang
sebelumnya merupakan kerja swasta sukarela, meningkat posisinya menjadi
tugas pemerintah bersama masyarakat. Mengutip komentar Fi Zhilalil
Qur`an tentang surah Ali Imran ayat 104.
“Mesti ada segmen masyarakat yang secara
khusus menjalankan tugas dakwah dan beramar ma’ruf-nahi munkar,
begitupun mesti ada penguasa formal yang memikul tugas dakwah dan amar
ma’ruf-nahi munkar. Kesimpulan ini diambil dari makna nash Al-Qur`an
sendiri yang menyebutkan dakwah dan am run wa nah yun. Jika pelaksanaan
dakwah dimungkinkan tanpa kekuasaan formal maka untuk memerintahkan dan
melarang dalam konteks masyarakat dan bangsa tidak bisa dijalankan
kecuali oleh pemerintah.
Sasaran-Sasaran Utama
Al Mawardi menyebut Sepuluh Kewajiban
Negara, yang lebih relevan dengan situasi kita dan perlu diangkat
melalui pelaksanaan syariat, adalah hal-hal berikut:
- Terjaminnya keamanan umum di semua wilayah negara, bagi jiwa, kehormatan dan harta benda setiap warga.
- Terciptanya kepastian dan wibawa hukum, dan hukum syariat berpotensi besar untuk menciptakannya.
- Terwujudnya pemerintahan yang cerdas, bijak, dan menjunjung tinggi syura. Sehingga bersama-sama rakyat secara bertahap dapat mengatasi masalah-masalah yang ada.
- Tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Sumber daya alam kita khususnya dan faktor-faktor ekonomi secara umum sangat mendukung, tinggal pengelolaannya yang cerdas dan sesuai nilai0nilai Islam.
- Memasyarakatnya nilai-nilai etika dan adab (akhlakul karimah), dan terealiensasinya model-model akhlak yang tercela.
- Terpenuhinya perasaan at home bagi umat non-muslim, karena merasa diperlakukan secara adil dan lebih baik hidup di bawah sistem sosial Islam.
- Terangkatnya wibawa serta nilai dakwah, dan hidupnya semangat beramar ma’ruf-nahi munkar di masyarakat.
Ketujuh hal tersebut harus menjadi isu-isu sentral pada tahap kristalisasi ide dan konsep.
2. Penerangan dan sosialisasi
Proses penerangan dan sosialisasi ini
ditempuh baik secara internal maupun eksternal. Secara internal kepada
kalangan muslimin yang sudah punya semangat ke arah pelaksanaan syariat
maupun mereka yang masih menyimpan suatu keraguan. Pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan dakwah dengan variasi bahasa
hikmah/pencerahan, mau’izhah hasanah dan diskusi mengupas sisi-sisi yang
masih perlu dikristalisasikan dan diklarifikasikan lebih jauh sesuai
batasan pelaksanaan syariat yang telah dirumuskan.
Sosialisasi eksternal akan menekankan
bahasa pencerahan dan diskusi/dialog untuk mengeleminasi
kerancuan-kerancuan yang ada seputar isu aplikasi syariat. Perlu
dipersiapkan secara khusus sosialisasi kepada umat non-muslim, agar
sekalipun tidak mendukung minimal tidak merintangi dengan
kekhawatiran-kekhawatiran yang menghantui. Tidak kurang pentingnya
mempersiapkan dialog khusus dengan dunia kampus, kalangan nasionalis
atau sekuler. Semua itu untuk sosialisasi pada level masyarakat, sedang
pada level kelembagaan formal tema-tema sosialisasi disesuaikan dengan
posisi dan peran kelembagaan yang bersangkutan dalam konteks aplikasi
syariat secara total dan formal.
3. Afirmasi dan Ekstensi
Pemahaman dan pengamalan syariat pada
tingkat individu dan rumah tangga relatif sudah berjalan secara linear.
Secara kuantitatif barangkali masih sebagian kecil yang memenuhi standar
kewajiban, dan secara kualitatif mayoritas nampak masih belum beranjak
dari level ritual seremonial.
Pada tingkat perilaku sosial masih
banyak kelemahan. Hal ini akibat masih lemahnya mutu pendidikan baik di
lingkungan sekolah maupun keluarga dan masyarakat, begitupun dengan
kualitas da’wah Islam yang secara umum belum memiliki pola dan
sistimatika yang maju.
Betapapun kondisi yang ada harus
dijadikan modal yang bisa diafirmasi dan berkembang meningkat seiring
dengan peningkatan kualitas pendidikan dan dakwah. Selain mempertajam
realisasi asas integrasi antara ketiga aspek kognitif, apektif, dan
motorik, pendidikan dan dakwah hendaknya lebih sungguh-sungguh
menampilkan sosok-sosok keteladanan dan membina milieu yang kondusif.
Dalam kaitan ini akan dapat membantu jika usaha pendidikan dan dakwah
mencanangkan kualitas-kualitas yang hendak dicapai, misalnya:
- Sasaran pembinaan pribadi muslim yang berkualitas : Lurus akidahnya, benar ibadahnya, kuat / sehat fisiknya, cukup wawasannya, mampu bekerja/aktualisasi diri tanpa bergantung kepada orang lain, bisa membina diri, mencermati waktu, teratur dalam urusannya, dan berguna bagi sesamanya.
- Sasaran pembinaan keluarga: mempunyai persepsi yang islami tentang pasangan hidup yang ideal, mengetahui serta memenuhi hak dan kewaiban suami-isteri dan sesama anggota keluarga, terpeliharanya etika Islam dalam semua wajah kehidupan rumah tangga, mampu mendidik anak dan pembantu sesuai prinsip dan nilai-nilai Islam, dan mampu membawa keluarganya sebagai keluarga dakwah serta contoh bagi lingkungannya.
- Sasaran pembinaan lingkungan: tersiarnya nilai-nilai yang baik, teralienasinya nilai-nilai yang tidak baik, terbinanya publik opini yang Islami dan wajah kehidupan sehari-hari yang etis, tingginya apreasiasi terhadap da’wah dan semangat beramar ma’ruf nahi munkar.
Dalam ungkapan lain, suatu target
kebangkitan moral niscaya didahului oleh kebangkitan spiritual, dan
diawali dengan suatu kebangkitan ilmu dan intelektual di masyarakat
melalui pendidikan dan dakwah.
4. Legalisasi
Upaya legalisasi aspek-aspek syariat
yang hendak diaplikasikan secara positif bagi Al-Qaradhawi merupakan
realisasi fungsi advokas (himayah) sebagai bagian dari fungsi masyarakat
terhadap nilai-nilai Islam yang dianutnya. Urutannya setelah fungsi
sosialisasi dan afirmasi. Fungsi advokasi ini dijalankan melalui dua
jalur:
- Jalur kontrol terhadap opini publik agar tetap berada dalam koridor mendukung yang ma’ruf dan menolak yang munkar.
- Jalur legalisasi, baik untuk mencegah kemunkaran sebelum terjadi maupun memberantasnya setelah terjadi.
Langkah legalisasi sedemikian penting,
tidak bisa diwakili oleh langkah konstitusionalisasi sekalipun. Sebagal
contoh soal, Mesir yang sudah lama melakukan konstitusionalisasi
syariat, belum juga merealisasikan pelaksanaannya secara menyeluruh,
karena upaya legalisasi (taqnin) selalu kandas di tengah jalan. Demikian
hal dengan Tap MPR seperti GBHN bisa dianggap tidak dengan sendirinya
operasional sebelum dibuat Undang-Undang pelaksanaannya.
Untuk ini organisasi-organisasi massa
dan politik Islam, bersama-sama pemikir dan cendekiawan muslim,
berkewajiban mendorong dan memberi input konseptual yang diperlukan.
Kalaulah kebiasaannya proses legalisasi berjalan secara top-down, maka
untuk pelaksanaan syariat perlu dicoba pendekatan bottom -up.
5. Institusionalisasi
Setelah legalisasi berhasil ditempuh,
dengan sendirinya diikuti dengan pelembagaan eksekusinya sesuai perintah
Undang-Undang atau Peraturan Pelaksanaannya. Tetapi, di luar institusi
pemerintah yang bekerja sesuai perintah legislasi, lembaga-lembaga
sosial non pemerintah milik umat harus menjadi mitra yang proaktif
bahkan jika dimungkinkan lebih aktif dari lembaga pemerintah. Di
negara-negara maju lembaga-lembaga swasta peranannya lebih luas dan
lebih besar, dan lembaga pemerintah berfungsi sebagal fasilitator.
Lain dari pada itu yang lebih penting
dari formal adalah kinerjanya, dan hal ini terkait dengan kualitas
Sumber Daya Mnusia yang mengisinya. Dalam hubungan ini organisasi dan
lembaga milik ummat perlu antisipatif terhadap kebutuhan SDM berkualitas
tersebut dan turut aktif mengisinya.
D. Penutup
Kewajiban melaksanakan syariat Islam
bagi setiap pemeluknya merupakan aksioma agama dan keberagamaan. Tetapi
jika hanya diserahkan pada keimanan dan kesadaran moral, pelaksanaannya
tidak akan melebihi taraf suka-rela dan bersifat individual belaka.
Pengamalan Islam secara behavioral dan kultural, tanpa dukungan otoritas
legal formal, tidak cukup mampu membawa kepada pengamalan yang kaffah
sebagaimana diperintahkan. Karena itu seperti dirawikan dari Utsman bin
Affan: “Allah niscaya menundukkan dengan kekuasaan negara apa-apa yang
tidak dapat ditundukkan dengan Al-Qur`an.”
Pelaksanaan syariat secara behavioral,
kultural, dan legal formal, merupakan tugas dan target dakwah amar
ma’ruf nahi munkar. Pencapaian semua itu memerlukan kesatuan tekad
(tauhid anniyyah), kesamaan ide dan konsep (tauhid al-fikrah), dan
kesatuan langkah (tauhid al-amal) antara komponen umat. Dan untuk
keperluan ini perlu direkomendasikan hal-hal berikut :
- Meredusir pertentangan khilafiah di kalangan ulama dan pertentangan politis antara pemimpin komponen umat, dengan merumuskan dan menajamkan visi bersama dan suatu kerangka kerja sama.
- Memperkokoh ikatan sosio-kultural dan politis antardaerah untuk meredam potensi disintegrasi yang menggejala akibat kesalahan-kesalahan politis yang kontra produktif. Masih diyakini bahwa tiada pengikat yang kuat bagi Kaum Muslimin daripada ikatan iman Islam, dan tidak ada kepentingan yang lebih besar daripada pelaksanaan ajaran Islam, bila mana hal itu telah difahami dan disadari.
Allahu al muwafiq ila aqwamith thariq.