Mei 23, 2011

LEADERSHIP (Kepemimpinan )

Satu modal dasar yang mutlak harus dimiliki hampir semua profesi adalah karakter kepemimpinan. Hampir setiap jenis kerja dipengaruhi dan tergantung pada kepemimpinan (demikian menurut Overton, 2002). Kepemimpinan atau Leadership adalah membuat sesuatu yang kita percayai terjadi. Esensi leadership adalah ‘seseorang melihat kebutuhan untuk bertindak, percaya akan apa yang ia kerjakan, menginspirasi yang lain dan pada akhirnya dapat merubah dunia’. Tugas seorang leader adalah mengambil apa yang dipercayainya; sesuatu yang mengalir keluar dari nilai-nilai inti dirinya, dan membuatnya menjadi kenyataan.

Jadi, setiap kali seseorang berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, orang tersebut adalah seseorang yang berpotensi menjadi leader dan orang yang akan dipengaruhi berpotensi menjadi pengikut (follower) , tidak perduli apakah orang (pengikut) tersebut adalah atasan, partner, teman, relasi ataupun kelompok. Jadi leadership tidak melulu berbicara tentang posisi sebagai atasan, manajer, komandan, dan sebagainya. Leadership adalah kemampuan menggerakan, mempengaruhi dan menginspirasi orang lain untuk berbuat.

Kedua, kebanyakan kita sering menduga bahwa seorang pemimpin yang berhasil indentik cenderung ramah, berani, tinggi, disukai, pandai bicara dan supel. Tetapi tidak berarti melulu harus seperti itu. Pada kenyataannya, ada pemimpin yang sukses seperti Napoleon berpostur pendek, sedangkan Abraham Lincoln bersifat tertutup. Kesuksesan pemimpin-pemimpin tersebut lebih disebabkan oleh kemampuannya memberdayakan orang lain.

Yang ketiga, bahwa karakter kepemimpinan itu adalah bukan suatu yang jauh dan sukar dicapai oleh seseorang. Bahwa ia bukan saja bisa dipelajari bahkan bisa diinternalisasikan dalam diri seseorang. Kita hanya dituntut untuk mau merubah code DNA kepribadian kita untuk memiliki karakteristik kepemimpinan yang handal tersebut.

Untuk itu ada baiknya kita telaah beberapa teori kepemimpinan dan apa yang bisa kita ambil dari teori-teori tersebut. Yang pertama, Trait theory, teori kepemimpinan telah dikenal sejak tahun 1940-an yang dikenal dengan The Trait Theory sampai pemikiran Bolman dan Deal (2001) tentang Leading with Soul: an uncommon journey of the spirit. The Trait Theory atau Teori Pembawaan berkembang dengan memusatkan pada karakteristik pribadi seorang pemimpin. Teori ini menjadi dasar dari banyak penelitian tentang kepemimpinan, mencatat bakat-bakat pembawaan yang meyakinkan sebagai ciri-ciri pemimpin.

Dari teori ini kita diajarkan untuk menginternalisasikan karakteristik kemanusiaan yang baik dari individual. Berbagai karakteristik pemimpin ideal tersebut adalah seperti Jujur, bisa diandalkan, Kompeten, Berani, Berpandangan jauh, Memperhatikan orang lain, Bisa memberi inspirasi, Kooperatif, Cerdas, Matang, Adil, Berambisi, Berpandangan luas, Tegas, Terus terang, Mengusai diri, Berdaya imajinasi, Setia dan independen. Semua sifat ini adalah sifat yang mulia, baik dan terpuji dilihat dari agama, budaya, adat, ideologi apapun. Artinya seorang yang ingin mempunyai leadership yang prima harus menyerap dan mempunyai sebanyak mungkin karakter-karakter kemanusiaan yang baik (lihat juga Irawan, 2007). Mengapa hal itu perlu?

Tidak lain karakter-karakter itu lah yang kemudian bereaksi dalam kimiawi psikologi, budaya dan sosial seseorang yang menjadikan ia mampu memiliki dedikasi, profesionalitas, pengabdian dan pelayanan secara prima. Hal ini lah yang kemudian mendorong lahirnya kesuksesan. Saya ingin memberikan ilustrasi sederhana tentang bagaimana sikap dedikasi, profesionalitas dan pelayanan ini melahirkan kesuksesan dengan mengambil contoh kasus dibidang majemen perhotelan.

Adalah George Bosch pekerja kecil di hotel kecil di kota kecil, Philladelphia, Amerika. Suatu malam jam 1.30, ia kedatangan sepasang kakek dan nenek dari New York yang ingin menginap di hotelnya George, tapi semua kamar penuh. Sayangnya pula, semua hotel-hotel penuh karena ada 2 seminar besar bersamaan di kota itu. George kemudian tak sampai hati menolak si kakek nenek ini, mereka nampak sangat membutuhkan pertolongan. George mengambil inisiatif mulia, ia persilahkan kamar pegawai yang satu-satunya itu untuk si kakek nenek. Si kakek nenek tertolong. Keesokan paginya, George melayaninya sepenuh hati, membersihkan kamarnya, menyiapkan sarapan, mengangkat koper, mengambilkan taxi untuk kebandara. Di saat si kakek sudah didalam taxy, si kakek berbisik kepada George, "Jika suatu ketika nanti aku mendirikan hotel di New York, aku akan panggil engkau jadi GM disana." Itu saja yang diucapka si kakek dengan penuh rasa haru dan terima kasih yang tak terhingga karena pelayanan George yang excellent itu. Si kakek nenek itu terkesan sekali dengan George. Suatu hari, George mendapat sepucuk surat, setelah ia buka surat itu, bunyinya kurang lebih: "George, ingatkah engkau akan aku, 2 tahun lalu, ketika engkau menolong kakek nenek di malam hari jam 1.30 tanpa tumpangan? Berangkatlah ke New York minggu depan dengan tiket yang sudah aku siapkan." Setibanya di airport New York, si kakek nenek ini gantian yang menjemput si George dan membawanya ke tengah-tengah kota New York, "George maukah engkau mengelola hotelku ini sebagai GM?" Jawab George terheran-heran, tidak percaya: "Apa Tuan? Ini hotel milik Tuan? Yang benar Tuan? Oh..oh..sungguh Tuan?" Benar, George akhirnya bekerja sebagai GM pertama di hotel bintang lima termegah pertama di New York th 1965, yang bernama Hotel Waldrof Astoria New York yang dimiliki oleh kakek itu William Waldrof Astor. Itulah makna indah dari sikap dedikasi, profesionalitas dan pelayanan yang dilakukan secara prima pada hal yang kecil yang kemudian menjelma menjadi keberhasilan/kekuasaan yang besar.

Kedua, Behaviour theory, teori ini lebih memusatkan perhatiannya pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin daripada memperhatikan atribut (karakter) yang melekat pada diri pemimpin itu, yang kemudian membuka jalan bagi timbulnya teori-teori perilaku seperti Managerial Grid dari Robert Blake dan Jane Mouton. Dengan Managerial Grid mereka mencoba menjelaskan bahwa ada satu gaya kepemimpinan yang terbaik adalah gaya manajemen tim sebagai yang terbaik. Bekal yang kita dapat dari pandangan ini adalah bagaimana kemampuan seorang pemimpin bekerja dalam kelompok. Kepemimpinan seseorang bukan hanya tergantung dari sejumlah karakter personal yang dimilikinya sebagaimana yang disampaikan oleh Treat Theory tetapi bagaimana menempatkan dirinya dalam komunitas dan kelompok.

Dari teori ini bekal yang layak kita akomodasi adalah kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam cara berpikir dan perasaan orang lain untuk mensinergikan titik temu pandangan dan sikap nya dengan pandangan orang lain dalam rangka menjalankan misi organisasi atau perusahaan untuk kesejahteraan semua. Hal itu juga berarti karakter kepemimpinan yang perlu diinternalisasikan dalam kerja-kerja kelompok apalagi kerja dengan beragam manusia lintas agama, budaya, adat dan kebiasaan. Untuk itu kita harus mampu mencari titik-titik temu dalam rangka mencapai tujuan organisasi dan mentoleransi titik-titik perbedaannya dengan orang lain untuk meminimalisasi benturan-benturan energi konflik yang tidak perlu. Artinya kita harus melatih diri kita untuk bisa mengakui dan menghargai keberagaman.Tetapi hal itu tidak bermakna indentik dengan perilaku Bunglon, mengapa karena bunglon tidak mempunyai karakter kepribadian yang prima, karakter berubah berdasarkan lingkungan sekitar dalam rangka menjamin kepentingan interest pribadinya. Karakter-karakter kepemimpinan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya maka akan mencegah sesesorang memiliki karakter bunglon.

Hal senada dengan teori kepemimpinan ini adalah Gerakan Human Relations – Elton Mayo. Mayo memprakarsai gerakan Human Relation yang menggantikan trend leadership ala Taylor yang memandang manusia sebagai instrumen atau mesin yang dapat dimanipulasi oleh pemimpinnya. Menurut Mayo sangat penting untuk melihat sudut pandang urusan-urusan manusia, dimana sumber kekuatan utama organisasi terletak pada hubungan interpersonal yang berkembang didalam unit kerja. Fungsi leader dalam pandangan Mayo adalah untuk memfasilitasi pencapaian tujuan bersama diantara para pengikut sambil menyediakan kesempatan pada pertumbuhan dan perkembangan individu.

Menurut John C. Maxwell (2001), pemimpin yang mampu menguatkan orang lain berarti pemimpin yang berada pada tahap keempat dari lima tingkat kepemimpinan. Dalam hal ini,pemimpin merasa bertanggung jawab untuk mengembangkan karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Adalah suatu kesalahan besar jika pemimpin dianggap sebagai satu-satunya orang yang bisa melakukan semua pekerjaan dengan sempurna. Oleh karena itu, pemimpin bertanggung jawab untuk mendelegasikan tugas kepada karyawan yang telah dilatih, memberi kesempatan untuk berkembang dengan penuh percaya diri, serta mendorongnya untuk memikul tanggung jawab yang telah diberikan.Covey (1992) menyatakan bahwa Manusia dikaruniai talenta, kecerdasan,kecerdikan dan kreativitas untuk menjadi pemberdaya. Pemimpin harus dapat melakukan penggalangan sejati terhadap suatu visi bersama dan bekerja dengan banyak orang. Pemimpin harus mampu menyatukan kumpulan ketrampilan dari sinergi keadaan pikiran (mindset) dari keadaan saling tergantung. Bila pada masa lalu pemimpin diartikan sebagai seseorang yang memberi perintah namun kecenderungan yang terjadi sekarang dengan makin berkembangnya kesadaran akan demokrasi, pemimpin justru dituntut untuk memiliki gaya kolaboratif dan partisipatif .

Ketiga, Situational Theory, teori ini mengatakan bahwa pembawaan yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah berbeda-beda, tergantung dari situasi yang sedang dihadapinya. Bahwa seseorang menjadi pemimpin kelompok tidak berkaitan dengan kepribadiannya, melainkan sangat berkaitan dengan berbagai faktor seperti rentetan kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan yang mengelilingi kelompok itu. Dengan kata lain, seorang pemimpin adalah seseorang yang berada di suatu tempat yang tepat pada waktu yang tepat.Tetapi teori ini pun tidak menjawab pertanyaan mengapa seorang anggota kelompok muncul sebagai pemimpin sementara yang lain tidak, atau mengapa seorang pemimpin terbukti lebih baik dalam beberapa situasi dan kurang berhasil pada situasi yang lain.

Teori ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa pada masing-masing keadaan organisasi dan tujuan organisasi itu menuntut jenis kepemimpinan tertentu. Oleh karena itu setiap kita ketika bergabung dan bekerjasama dalam satu entitas organisasi bisnis, sosial atau apapun harus selalu membekalkan dirinya dengan beragam ilmu, ketrampilan dan kapasitas yang menempatkan ia dalam posisi yang siap untuk ditempatkan dalam posisi kepemimpinan dalam organisasi tersebut.

Terlebih-lebih dalam kehidupan global seperti kekinian kita ketrampilan dan ilmu yang maching dengan tuntutan global menjadi niscaya pula. Penguasaan tentang bahasa dan budaya global, kecenderungan perilaku masyarakat dari sisi ekonomi, budaya, politik dan ekonomi dan tidak gagap teknologi terhadap teknologi standar adalah beberapa diantara keniscayaan tersebut.

Keempat, Interactional Theory. Pendekatan interaksionis (Interactional Theory) menyatakan bahwa ciri-ciri individual dan situasi tempat kelompok berada, kedua-duanya menentukan siapa yang menjadi pemimpin. Akibat teori ini kemudian timbul pandangan yang menyatakan bahwa pemimpin-pemimpin itu terlahir (born) dan terbentuk (made), karena pemimpin itu memerlukan kemampuan dan ketrampilan tertentu, tetapi bila situasi dan kebutuhan kelompok berubah, demikian pula orang yang diterima sebagai pemimpin juga berubah.

Dari teori ini kita mendapat pelajaran bahwa kepemimpinan itu adalah proses yang panjang. Sebenarnyalah kepemimpinan tidak bisa dihasilkan secara instant. Dalam meraih suatu karir atau mempertahankan posisi strategis dalam organisasi, secara konsisten para pemimpin atau atasan sebuah organisasi perusahaan belajar bagaimana cara me-manage sekelompok orang dalam lingkup organisasi. Mereka mempelajari teknik kepemimpinan dan manajemen dari para senior atau pemimpin perusahaan yang sudah berhasil. Untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan yang penting dalam karir dan organisasi, seseorang harus merangkak dari bawah ke atas. Dia yang ingin memetik buahnya memang harus mendaki. Dalam organisasi atau perusahaan etika dasarnya sebelum memegang sebuah komando setiap anggota harus belajar patuh, berjuang untuk berprestasi. Selain kejujuran, solidaritas dan kesetiaan merupakan etika yang harus dijaga antar anggota organisasi. Dalam organisasi bisnis modern, solidaritas dan kesetiaan dapat diartikan menjadi kebersamaan, loyalitas serta sense of belonging atau rasa memiliki terhadap perusahaan. Setelah menjalani jenjang perjalanan asam garam yang memadai tersebut seseorang sebenarnya telah memenuhi kelayakan dinobatkan oleh menjadi pemimpin organisasi dan perusahaan.

Masih banyak lagi kajian tentang kepemimpinan berdasarkan pandangan para pakar. Tetapi yang perlu kita garis bawahi dari semua pandangan dan teori tentang kepemimpinan tersebut adalah bagaimana kepemimpinan seseorang tersebut menjadi bernas dan efektif untuk mencapai target dan tujuan-tujuan organisasi. Mengapa? Karena seorang pemimpin itu adalah problem solver.

Seorang pemimpin adalah problem solver. Beragam teori dan pandangan tentang kepemimpinan yang kita ketahui adalah untuk membekali diri kita bagaimana menjadi Seorang problem solver yang baik, yang menguasai permasalahan yang dihadapinya dan mampu menyelesaikan secara sistematis dan tuntas. Kemampuan problem solving akan hadir secara prima dan membumi dalam diri jika anda terlatih memecahkan beragam kasus-kasus dunia nyata yang kemudian membentuk core competitionnya sebagai pemimpin. Oleh karena itu menjadi pemimpin pasti butuh waktu. Semakin muda usia seseorang ditempa untuk memecahkan kasus-kasus kehidupan dunia nyata, maka semakin muda pula usianya ketika ia layak menjadi pemimpin. Oleh karena itu asalah selalu kemampuan problem solving anda, dengan cara langsung berhadapan dengan masalah-masalah kehidupan didunia nyata, dari sekarang dan dari hal-hal yang kecil dan dimulai dari yang terdekat (diri sendiri, keluarga, masyarakat/organisasi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar