Dalam sebuah operasi militer, menjadi sebuah keniscayaan untuk
mengenali dengan baik siapa musuh yang akan dihadapi. Tidak hanya nama
dan bentuk wajah, akan tetapi juga pola pikir, kebiasaan, keluarga,
teman dan lain sebagainya yang bisa digunakan sebagai alat identifikasi
musuh. Ini dilakukan agar tidak terjadi salah tangkap, salah tembak atau
yang lebih konyol lagi membahayakan pasukan sendiri karena tidak tahu
kondisi musuh.
Demikian juga dalam perang pemikiran (ghozwul fikri), umat
Islam harus mengetahui musuh yang dihadapi. Salah satunya adalah
karakteristik pemikirannya. Pengusung dan pendukung Islam Liberal
sebagai salah satu musuh umat Islam dalam ghazwul fikri, sudah tentu
harus dikenal dengan baik pemikiran mereka. Tujuannya agar umat Islam
mengetahui seberapa jauh penyebaran pemikiran mereka dan paham apa yang
harus dilakukan.
Tulisan ini mencoba mengungkap beberapa karakteristik para pengusung pemikiran Islam liberal, yang meliputi:
Pertama, mereka percaya pada Allah, tapi bukan Allah yang
memiliki sifat-sifat yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan
disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak menyukai Allah yang
menentukan mana yang baik dan yang buruk bagi manusia. Mereka juga tidak
menyukai Allah yang membuat berbagai aturan bagi manusia sehingga
mengurangi kebebasan manusia untuk berbuat dan berkreasi. Mereka lebih
menyukai konsep Tuhan yang diambil dari akal manusia, yaitu Tuhan yang
tidak mencampuri urusan individu manusia. Mereka berkeyakinan bahwa akal
lah yang berhak membuat aturan bagi manusia. Akal juga yang bisa
menentukan baik-buruknya manusia, tidak boleh ada yang membatasi akal,
termasuk Tuhan dan agama. Karenanya mereka menyebarkan berbagai opini ke
masyarakat supaya umat Islam juga menganggap bahwa akal-lah yang berhak
membuat aturan hidup bagi manusia. Akal yang menentukan mana yang baik
bagi manusia dan mana yang buruk bagi manusia. Di antara opini-opini itu
antara lain adalah bahwa aturan yang ada di Al-qur’an, hanya untuk masa
di mana al-Qur’an diturunkan. Tidak untuk zaman sekarang ini, apalagi
masa depan. Karenannya, manusia dengan akalnyalah yang harus ”menafsir”
ulang dan menyesuaikan al-Qur’an dengan kondisi saat ini.
Ada juga di antara mereka yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an
yang berlaku pada zaman ini adalah ayat-ayat makkiyah saja yang berisi
tentang ajaran-ajaran agama secara global dan bersifat universal.
Sedangkan ayat-ayat madaniya yang banyak menjelaskan tentang
aturan-aturan kemasyarakatan, mereka anggap hanya berlaku untuk
masyarakat di zaman itu. Karenanya mereka akan menentang penerapan
perda syari’ah karena dianggap sebagai aturan masyarakat primitif.
Ada juga di antara mereka yang mencoba membuat keraguan umat terhadap
kesakralan dan keotentikan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah Swt.
Diantaranya mereka mengatakan, ”Al-Qur’an merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi)”,
”Al-Qur’an adalah karangan Muhammad”, dan lain-lain. Dr. Luthfi
Assyaukanie, aktivis Islam Liberal, mengejek keyakinan umat Islam
terhadap al-Qur’an dengan ungkapannya sebagai berikut: ”Sebagian besar
kaum muslim meyakini bahwa al-Qur’an dari halaman pertama hingga
terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
secara verbatim, baik kata-katanya (lafdzan) maupun maknanya (ma’nan).
Kaum muslim juga meyakini bahwa Al-Qur’an yang mereka lihat dan baca
hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari
seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam”. (lihat dalam Ijtihad Islam Liberal, 2005, hal. 1).
Di antaranya ada juga yang mengatakan bahwa mushaf utsmani yang
beredar dan dibaca di kalangan umat Islam saat ini, bukanlah al-Qur’an
yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw, karena saat penyusunan mushaf
utsmani terdapat kepentingan-kepentingan politik dari Khalifah Utsman.
Inti dari itu semua adalah supaya umat Islam ragu terhadap al-Qur’an dan
tidak menjadikan Allah sebagai pembuat aturan bagi manusia. Boleh
menggunakan aturan Allah, asal aturan itu sesuai dengan akal rasio
manusia. Jadi bukannya akal yang mengikuti aturan Allah (al-Qur’an dan
Hadits), akan tetapi aturan Allah-lah yang harus sesuai dengan akal
manusia. Apabila tidak sesuai, harus dicari penafsiran-penafsiran
sehingga aturan itu menjadi sesuai dengan akal rasio manusia. Sehingga
muncullah hermeneutik, metode yang mereka gunakan untuk ”menafsiri”
al-Qur’an supaya sesuai dengan akal rasio. Dengan hermeneutik inilah
mereka ”menafsiri” ayat-ayat yang ingin mereka buat supaya sesuai dengan
akal pikiran mereka.
Bila usaha aktivis Islam Liberal ini dibiarkan terus menerus dan
akhirnya mempengaruhi umat, bisa jadi akan menghasilkan keadaan umat
yang mirip dengan gambaran yang diberikan oleh Syed Muhammad Naquib
Al-Attas tentang perubahan keyakinan orang Barat ketika menerima
pemikiran liberal. Mereka yang sebelumnya percaya God created man, telah berubah menjadi Man created God.
Kedua, Islam liberal menganggap bahwa kebenaran Islam itu
tidak absolut. Mereka menyebarkan opini bahwa kebenaran adalah bukan
milik umat Islam saja, tapi semua agama sama-sama benar. Sebab sama-sama
jalan menuju Tuhan yang satu.
Agama yang diridloi Allah bukan hanya agama Islam saja. Surga juga bukan
hanya untuk umat Islam saja tapi juga untuk umat agama lain. Seseorang
menjadi religius bukan hanya agama yang menjadi faktor utamanya. Orang
kafir termasuk ateis pun bisa jadi moralis dan religius, bahkan melebihi
umat Islam sehingga berhak menyandang gelar ”Nabi” dan otomatis mereka
berhak mendapatkan surga. (ingat! Para Nabi Allah semuanya beragama
Islam). Dengan alasan ini, Islam liberal mendorong dan mendukung
kebebasan dan toleransi beragama (lihat karakteristik yang kelima)
Ketiga, mereka tidak mempertimbangkan lagi kaidah-kaidah dalam istimbatul ahkam
yang disepakati para ulama. Namun kadang mereka juga mencomot
kaidah-kaidah tertentu untuk mendukung pemikiran mereka. Bahkan tidak
jarang mencomot suatu kaidah yang sudah populer di kalangan umat, namun
maknanya sudah dibelokkan dari makna semula. Memang mereka tidak
mempunyai sistem yang baku dalam pengambilan hukum (istimbatul hukm)
dari nash al-Qur’an dan hadits. Jalan dan metode apapun yang mereka
gunakan untuk mendapatkan produk hukum yang mereka inginkan, dan tidak
terikat dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati para ulama. Itu semua
mereka lakukan dalam rangka membuat ”interpretasi baru” terhadap agama.
Dan interpretasi baru itu tidak mungkin mereka dapatkan apabila mereka
masih menggunakan kaidah-kaidah yang disepakati oleh para ulama dalam istinbatul ahkam.
Biasanya interpretasi baru terhadap agama yang mereka inginkan adalah
seputar kebenaran absolut agama Islam, gender, hak asasi manusia, dan
lain-lain.
Selain itu, mereka juga ingin menghilangkan otoritas ulama dalam
berijtihad, yaitu dengan menyebarkan opini agar umat Islam tidak lagi
terikat dengan hasil ijtihad, fatwa dan interpretasi para ulama, karena
pada dasarnya, menurut para aktivis liberal, setiap manusia adalah
ulama dan dengan akalnya masing-masing, setiap manusia bisa membuat
interpretasi sendiri terhadap agama.
Keempat, mereka mendorong pemisahan negara dari agama. Agama
tidak boleh masuk politik karena agama itu suci, sedang politik itu
kotor. Segala sesuatu dan usaha yang dianggap akan memasukkan
nilai-nilai agama dalam negara dan politik, akan mereka tolak. Tidak
hanya itu saja, mereka juga berusaha membuat opini di masyarakat supaya
pola pikir masyarakat sesuai dengan pola pikir mereka. Penerbitan Perda
Syari’ah mereka tentang dengan alasan menyebabkan diskriminasi. Partai
politik berazaskan agama pun tidak mereka setujui. Mereka berargumentasi
dengan sejarah kelabu yang terjadi di Eropa masa lalu, yaitu ketika
kerajaan-kerajaan di Eropa pada saat itu memaksakan suatu agama/sekte
dan menekan agama/sekte lain. Yang terjadi adalah pembunuhan dan
penyiksaan para penganut agama atau sekte minoritas. Namun sayangnya
aktivis Islam liberal mengabaikan atau sengaja menyembunyikan tentang
fakta sejarah ketika Islam memimpin dunia. Yang terjadi bukanlah
penindasan, akan tetapi kemakmuran, keadilan dan toleransi. Selain itu
pemikiran tentang pemisahan negara dan agama juga dilandasi oleh konsep
mereka tentang Tuhan (lihat karakteristik yang pertama). Mereka tidak
mengakui ke-universalitas-an (syumuliyyah) Islam. Mereka tidak
mau Islam mengatur seluruh kehidupan manusia. Menurut mereka akal-lah
yang berhak mengatur manusia. Bukan Islam ataupun Tuhan.
Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama.
Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam
beragama tapi bebas dari agama juga. Dengan kata lain bebas beragama dan
bebas untuk tidak beragama. Mereka berusaha untuk meniadakan istilah
kafir, murtad dan berusaha untuk mengabaikan dan mengubah perlakuan
dan/atau sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh agama terhadap kedua
golongan itu. Mereka lebih senang dengan menggunakan istilah non muslim,
karena lebih netral. Mereka juga akan selalu membela ajaran-ajaran
sesat yang bermunculan. Kesemuanya itu mereka lakukan dengan menggunakan
jargon membela hak asasi manusia (hak kebebasan sebebas-bebasnya).
Namun sayangnya, mereka cenderung tidak memberi kebebasan bagi umat
untuk menerapkan syari’ah dalam kehidupan mereka. Ini menunjukkan cara
pandang ganda dari para aktivis liberal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar